Revolt

Mizan Publishing
Chapter #2

Bab 2 Pintu-Pintu yang Tertutup

Sandal kulit Shirin melangkah di seberang beranda kecil di rumah si pembuat tembikar tiga jalan setapak jauhnya. Melalui jendela berterali di kamar tidur, dia melihat ibunya sedang mengeluarkan selimut. Dengan selembar selimut kapas terlipat berada di kepalanya, Laila berjalan menuju teras atas untuk menjemurnya di bawah terik matahari, dengan hati-hati menghindari dua anak tangga rusak yang batu batanya hilang. Sambil tersenyum kepada putrinya, dia kembali untuk mengambil selimut yang lain.

Laila menarik putrinya ke dalam pelukannya. Shirin menanggapinya dengan jeritan. Saat ibunya berjongkok di depannya, mata gadis itu tampak basah semua. “Shirin?”

Laila langsung waspada dan menatap mata putrinya, yang kini membesar menjadi bulatan berwarna biru langit yang seolah-olah mengambang di atas genangan air.

“Kau terluka?”

Shirin mengangguk, melepaskan diri dari pelukan ibunya untuk memperlihatkan bajunya. “Lihat, baju ulang tahunku, kotor semua!”

“Nanti kubelikan lagi! Massi Fiza akan mencuci baju yang ini. Kenapa kau terjatuh?”

Wajah Shirin menekuk menahan sakit. “Aku tersandung, dan ... dan mata lelaki tua mengerikan itu terus menatapku ....” Gadis itu menjelaskan.

“Lelaki tua!” tubuh Laila mendadak kaku. “Lelaki tua apa?”

“Yang menunggang kuda putih—dengan hiasan wajah. Dia ... dia bilang, ‘Minggirlah, Nak!’ Aku benci orang itu!”

Laila kembali merengkuh tubuh gadis yang terisak itu ke pelukannya, lalu menciumi rambut keritingnya yang pirang, dan tampak menyala di bawah sinar matahari pagi yang mengintip dari balik dinding pualam beranda.

“Orang ini, apakah dia muncul begitu saja?” Laila bertanya dengan lembut.

“Ya!”

“Dan dia bermata biru serta berambut cokelat?” bisik perempuan itu, rasa jengah menjalari tubuhnya.

“Ya … bagaimana kau tahu?” Shirin tetap memejamkan matanya, seolaholah mencoba menghalangi ekspresi kebencian pada wajah lelaki tua itu.

Laila berdiri. “Kau pasti telah berbuat salah!”

“Tidak!” Shirin memandang ibunya dengan suara melengking, tangisan marah, dan mata berkilat. “Aku sedang melihat-lihat semut … lalu aku jatuh. Kaki kuda itu hampir menginjakku.” Isak tangisnya yang nyaring muncul kembali dan kali ini terdengar sekuat tenaga.

“Coba tebak, paratha apa yang kubuatkan untukmu pagi ini?” Laila membujuk, berusaha mengganti topik pembicaraan dan menyeka air mata gadis itu. “Dan omong-omong, dia bukan orang tua!” Perempuan itu mengomeli putrinya.

Shirin mengangkat bahu menanggapi komentar ibunya tentang usia orang tua itu—tak peduli.

“Paratha bayam—dengan telur orak-arik—tak pakai bawang, sungguh,” tambah ibunya. Mendengar menu sarapan favoritnya disebut, mulut Shirin yang tadinya cemberut berubah menjadi senyuman enggan.

Kemudian, di bubungan atap, setelah menggantung baju putrinya agar cepat kering, Laila menolehkan kepalanya ke bagian lain desa itu; ke hawali. Dengan cat berwarna buah persik yang terang dan ubin pualam putih yang berkilauan di bawah terik sinar matahari, vila besar itu bagaikan mercusuar bagi semua orang. Dengan balkonnya yang tinggi, dan bendera-bendera hijau dan putih berkibar tinggi di kedua ujungnya, hawali milik Master Haider itu dapat dikenali dengan mudah dari jauh.

Sambil mendesah, Laila duduk di atas ranjang kayu untuk kemudian melanjutkan pekerjaan pentingnya. Seember penuh bunga mawar harus disusun dengan cepat. Di kertas catatan dari Begum yang terselip di antara bungabunga itu dengan jelas tertulis jam dua tepat.

Laila mengutak-atik jarum jelujur tebal masuk-keluar batang mawar, mengabaikan kedua jempol dan ujung jemarinya yang sakit. Putrinya, yang sekarang sudah selesai makan, mandi, dan berdandan dengan baju rok baru dan dengan rambutnya yang masih basah disisir rata, duduk di sampingnya.

“Apa yang kau lakukan, Ibu?” tanyanya, sambil mengelus daun bunga mawar dengan jemarinya.

“Aku membuat karangan bunga selamat datang, Sayang.”

“Untuk siapa?”

“Untuk seseorang yang sangat istimewa, Sayangku,” bisik Laila dengan suara serak, lalu mengecup kening basah putrinya.

“Untuk Ayah!” Gadis itu berteriak girang.

Senyuman Laila lenyap. “Bukan! Kau bisa bertemu langsung dengan orang itu saat dia datang nanti. Kau akan mendapat tugas tersendiri, Putriku. Lihatlah lewat lubang-lubang di dinding itu. Kalau kau melihat tiga atau empat mobil yang datang bersamaan ke desa ini, dengan mobil Jeep hitam besar berada paling depan, kau harus segera memanggilku, Shirin.

Gulbahar berdiri bergeming di samping kolam pualam, berusaha mengingatingat tugas yang dia lupa kerjakan.

Dengan wajah datar, dia berteriak, “Begum! Apakah kau sudah menyalakan penyejuk udara di semua ruangan? Jangan lupa, putraku yang tampan akan tiba dari negara yang suhunya dingin.”

Begum bangkit dari ruang makan utama untuk tamu, setelah memberikan sentuhan terakhir di meja dengan sebuah vas berisi bunga anggrek segar. Panel-panel kaca dan cermin di semua ruangan telah dibersihkan dari debu dan noda-noda.

“Ya, Sahiba-ji, dengan suhu paling rendah—di semua ruangan! Ali akan meletakkan dispenser air di dekat ranjang Mistress Mehreen, supaya dia bisa minum air panas.”

“Terencana rapi sekali! Bagaimana dengan makan malam? Kuharap kau membolehkanku meminta Rasoola untuk membantumu?”

Begum menggelengkan kepala dengan tegas, wajahnya kusut dengan ekspresi tak suka saat membayangkan perempuan itu bekerja di dapurnya.

Rasoola, pembantu Mehreen, dikutuk dengan watak yang suka mengeluhkan semua orang dan semua hal, termasuk sakit punggung yang dideritanya. Dan dosanya yang paling busuk adalah dia tidak sedikit pun setia kepada para majikannya.

Namun demikian, Begum dengan senang hati menyambut si koki dari kota, Nalu, di dapurnya. Yang membuatnya terkejut, lelaki itu tidak hanya piawai dalam urusan memasak dan seorang teman yang menyenangkan; dia juga pandai membuatnya terus tertawa sepanjang pagi itu dengan ceritacerita tentang istrinya yang sederhana dan polos, yang terus-menerus menjadi korban keusilan anak-anak mereka. Tak butuh waktu lama bagi Begum untuk melupakan perlakuan majikannya kepada anak gadis itu dan dia merasa senang dengan hadiah dari Nalu berupa sekantong bumbu masakan istimewa yang baru digiling.

“Sahiba-ji, jangan khawatir,” kata Begum menenangkan majikannya. “Nalu sudah memasak dua panci daging. Nasinya sudah matang dan semangkanya sudah ditempatkan di air es. Aku baru akan memotong-motongnya ... Bolehkah aku menggunakan mangkuk-mangkuk kristal itu, Mistress?”

“Tentu saja!” Gulbahar mendesis lembut. Semua harus ditempatkan dalam wadah kristal untuk pesta penyambutan putranya!

“Oh, Begum!” seru Gulbahar, saat ada sesuatu yang lain yang muncul di benaknya. “Bagaimana dengan si halvie18? Apakah dia bilang jalebi19-nya akan siap malam ini?”

“Semua beres, Mistress. Ali akan mengambil tiga keranjang jam enam nanti; si pembuat gula-gula, berkat istrinya yang sering mengomel, tepat waktu memenuhi pesanan, tidak seperti si tukang roti yang mengerikan itu .... Kau ingat bagaimana lelaki itu membuat kita terpaksa menunggu chapatti padahal kita harus menghidangkan makanan untuk semua tamu yang sudah lapar saat Bakra Eid20 waktu itu.”

“Bagus sekali! Terima kasih, Begum. Aku harus bersiap-siap. Tak sabar bertemu putraku!”

18 Orang yang pekerjaannya membuat gula-gula atau memiliki toko gula-gula.

19 Manisan atau gula-gula berbentuk melingkar-lingkar seperti kerupuk yang disajikan dalam acara perayaan, biasanya berwarna oranye atau kuning, digoreng, lalu dicelupkan ke dalam sirup.

20 Idul Adha.

“Tentu, Mistress. Jangan khawatir. Maukah kau berdiri dan menunggu di luar di jalanan bersama orang-orang lain?”

“Kurasa ...” Gulbahar menyeringai. “Kali ini aku akan berkompromi, Begum, dengan berdiri di dalam, tapi mengintip ke luar pintu. Kau tahu aku tidak memakai kerudung, tapi tuanmu benci saat ada lelaki yang melirik ke arahku.”

Begum terkekeh, matanya bersinar ramah. “Tentu saja, dia sangat berhak bersikap begitu—dia sangat posesif terhadapmu dan keluarganya! Itu tidak mengherankan karena dia punya istri cantik sepertimu dan seorang putri.” Begum mendadak terdiam saat mata majikannya itu terpejam, sebuah bayangan melintasi wajahnya.

“Maaf …” Begum terbata-bata, mengutuki lidahnya yang terlalu lancang bicara. “Aku harus menyusun karangan bunga!” Dia buru-buru menambahkan.

Gulbahar dengan kaku mengangguk tanda setuju, suasana hatinya mulai membaik. Adik-adiknya sedang berada dalam perjalanan. Saher, keponakannya yang seorang pengacara, telah mengambil cuti dari kantornya untuk datang langsung menyambut kepulangan sepupunya, dan dia, ibu Arslan, bahkan belum berganti pakaian!

“Ibu! Ibu! Aku melihat mobil-mobil itu!” Shirin berteriak dengan gembira dari balkon kepada ibunya di bawah, di halaman. “Kau di sana, Bu?”

Laila melangkah keluar dari beranda, pensil alis kajal-nya masih berada di tangannya. Putrinya mengintip dari dinding balkon yang rendah di teras atap. “Hati-hati, Sayang. Nanti kau jatuh!” seru Laila cemas.

Beberapa saat kemudian, dengan tubuh terbungkus selendang besar yang seolah menyapu rumput halaman, Laila melangkah ke jalan setapak dan berpapasan dengan Massi Fiza dan buntelan cuciannya yang sudah bersih. Laila berdoa agar perempuan penatu itu tidak sedang menuju tempat yang sama dan tiba-tiba dia memutuskan dia tak ingin putrinya menemaninya.

“Shirin, main saja di rumah atau di lapangan, ya!”

“Aku mau ke lapangan saja!”

Sambil tersenyum, dia meninggalkan anaknya dan mempercepat langkahnya di jalan setapak, karangan bunganya didekap erat di dadanya, di balik lipatan selendang besarnya.

Istri si pembuat gula-gula, Jennat Bibi, baru saja menemui pir21-nya di desa tetangga. Dengan wajah bersemangat, dia melompat turun dari bus di tepi jalan Grand Trunk Road22 dan berjalan pulang dengan tergesa-gesa untuk mengabarkan berita baik yang baru dia dapatkan kepada keluarganya. Di depannya, ada banyak teman baik Master Haider yang berkumpul di luar hawali-nya untuk menyambut kepulangan Master Arslan muda. Dengan karangan bunga didekap di tangan, sebagian dari mereka berbincang-bincang dengan asyik sekali.

Jennat Bibi melihat temannya, Neelum, di tengah kerumunan perempuan dan mempercepat langkahnya.

“Assalamu ‘alaikum, Jennat Bibi. Apa kabar?’ Neelum menoleh dan tersenyum.

“Wa ‘alaikumsalam, berkat rahmat Allah aku sehat dan sangat bahagia.”

“Baru mengunjungi sanak saudara di kota?”

“Tidak. Mengunjungi pir-ku.”

“Kenapa?”

“Kabar baik! Nanti kuberi tahu—tapi, kenapa kau berada di sini?”

“Kau tidak tahu? Master Arslan pulang dari Amerika. Apakah suamimu tidak menerima pesanan besar untuk membuat mithai23 untuk pesta penyambutan ini?”

“Oh ... ya, tentu saja. Aku lupa. Aku bergabung sajalah, toh, aku sudah di sini!”

“Ya, silakan! Lihat! Lihatlah siapa saja yang berada di sini. Bersembunyi di belakang pohon itu ... itu dia ....”

21 Semacam guru agama, ustad, atau guru spiritual.

22 Salah satu jenis jalan raya tertua dan terpanjang di Asia, menghubungkan Asia Selatan dengan Asia Tengah sepanjang 2.500 km.

23 Gula-gula khas Asia Selatan.

Kedua perempuan itu diam-diam melirik seorang perempuan berjubah yang setengah tersembunyi di balik pohon.

“Nah, Jennat Bibi. Apa yang dikatakan oleh pir-mu?” Neelum mendesak, ingin tahu ada kejadian apa sebenarnya di balik wajah temannya yang tersipu dan mata cokelatnya yang tampak jenaka itu.

Lihat selengkapnya