Jubail sedang sibuk menyikat kuda betina kesayangan Master Haider di istal, sore menjelang malam itu, ketika matanya menangkap sosok Mistress Laila, perempuan muda dan cantik berusia 22 tahun. Sambil berjalan ke kuda lain, Laila menepuk-nepuk punggung hewan itu dan kemudian menyandarkan kepala pada lehernya. Sambil berdiri bergeming, Jubail mengamati di bawah bayangan pohon—penasaran. Lelaki itu belum pernah melihat perempuan yang perilakunya seakrab itu terhadap kuda; Laila pastilah mewarisi gen ayahnya.
Kuda yang sedang diurus Jubail bergerak, seketika itu juga menarik perhatian Laila ke sudut halaman istal itu. Karena terkejut, perempuan itu melangkah mundur, matanya waspada. Dia tahu siapa lelaki itu; putra si perajin tembikar—pemuda ‘cerdas’ belajar di universitas bergengsi dan hasrat menunggang kudanya telah membuat ayah Laila menaruh hormat dan meminatinya.
Master Haider merasa bangga dapat memelihara kuda untuk ajang balap kuda tahunan dan untuk ditungganginya sendiri, merasa terganggu oleh kenyataan bahwa pada sisi praktis kuda menjadi semakin dianggap kuno di distrik tempat tinggal mereka. Hanya tanga, alias andong, yang membutuhkan kuda dan itu juga jarang terlihat. Rickshaw dan mobil telah mengambil alih kehidupan manusia dan wilayah perdesaan.
Ketika Jubail bertanya apakah dia boleh menunggangi dan merawat kuda-kuda itu, Haider Ali hampir tak bisa menahan kegembiraannya. Arslan masih terlalu muda untuk mengurusi kuda-kuda itu.
“Jubail, pasangkan pelana kuda ini.” Laila memerintah dengan suara yang jelas dan berwibawa, memanggil pemuda itu dengan nama depannya.
Bulu kuduk Jubail meremang mendengar nada itu—nada yang digunakan perempuan itu terhadap para pelayan. Dan dia, walaupun seorang mahasiswa cerdas di universitas, di desa ini, sebagai pengurus istal dan berasal dari keluarga perajin tembikar, jelas berposisi sebagai pelayan sepanjang yang diketahui Mistress Laila. Pemuda itu mengangguk, berpaling untuk menyembunyikan wajahnya, namun perempuan itu sudah pergi.
Setelah kudanya sudah disiapkan, dia menunggu, sambil duduk di sebuah bangku di sudut beranda yang terlindungi bayangan, bertanya-tanya siapa yang akan menunggang hewan itu. Langit tampak gelap dan dia ingin pulang; ibunya sudah menunggu dan memasakkan ikan goreng kesukaannya. Seorang lelaki langsing berserban memasuki halaman istal, berjalan cepat dan mendekati kuda yang sudah berpelana tersebut dan dengan satu lompatan mulus naik ke punggung hewan itu.
Sebelum Jubail sempat berteriak ‘Hai, kau!’, orang itu dan kudanya telah berlari keluar dari gerbang halaman istal. Khawatir kuda itu dicuri, Jubail langsung melompat ke punggung kuda lain dan berderap keluar dari halaman istal.
“Hei! Berhenti!” Jubail berteriak dengan marah. Si penunggang tampak merengut dan menderapkan kudanya lebih kencang. Dengan jantung berdebar lebih cepat, pemuda itu melihat kuda dan penunggang di depannya itu kini menyeberangi tanah lapang. Merasa semakin marah, Jubail menendang kedua sisi kuda itu dengan tumitnya dan menambah kecepatan hingga dia berada sejajar dengan kuda tadi, berusaha merebut tali kekangnya. Terkejut karena tindakan Jubail, penunggang itu kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat di ladang bayam.
Mendengar suara kesakitan, Jubail menoleh ke bawah, matanya membelalak karena kaget. Penunggang itu perempuan. Lebih tepatnya, Mistress Laila, tergeletak di atas daun-daun bayam, memelototinya. Rambut hitam panjangnya tergerai di bahunya, kain serbannya yang buatan tangan tergeletak di pangkuannya.
“Lancang sekali kau!” maki perempuan itu, matanya membelalak dengan pandangan menghina.
“Aku lancang karena berkuda di malam hari, sendirian, tidak pantas atau masuk akal bagi seorang perempuan muda!” pemuda itu memperingatkannya dengan tenang, mendengus, sambil memegang erat tali kekang kudanya. Lalu pemuda itu menambahkan, sambil melembutkan nada suaranya, mengingat posisinya yang harus bersikap patuh. “Memang bukan seperti ini aku seharusnya bertindak, Mistress—maafkan aku karena telah mengagetkanmu!”
Pemuda itu meninggalkan Laila yang sedang marah itu di tanah yang berdebu, membiarkan perempuan itu menenangkan diri, dan menunggunya di kejauhan. Laila memasukkan rambutnya ke kain serban, tahu betul bahwa dia tampak aneh berpakaian menyerupai lelaki. Sebab, tak ada orang lain di desa itu yang memakai serban.
Dari kejauhan dan dengan rasa hormat yang terpaksa, Jubail memandang Laila yang menghela kudanya kembali ke tanah lapang. Ketika perempuan itu berkuda balik ke arah desa, Jubail berpikir ini waktu yang tepat baginya untuk kembali ke istal.
Di halaman istal, sambil mengabaikan pemuda itu, Laila mengikat kudanya di tempat biasa. Sebelum perempuan itu keluar lewat pintu yang mengarah ke halaman hawali, dia tak bisa menahan diri untuk menoleh dan berkata, “Pasangkan pelana kuda untukku besok malam jam sembilan.” Nada suaranya lembut, namun tetap saja itu sebuah perintah.
Dengan wajah bingung, Jubail menatap Laila, matanya yang sehitam arang berkilat di kegelapan. Apakah perempuan itu mengira dia tak punya kegiatan lain yang lebih baik daripada menunggu di sini dan memasang pelana untuknya pada malam hari? Arogan sekali perempuan itu!
Bagaimanapun, Jubail pada akhirnya terpaksa melakukan perintah itu, ‘menunggu’ dan memasangkan pelana pada kuda Mistress Laila, menunduk di bawah senyuman berterima kasih darinya dan tatapan mata bak permata itu. Sebelum berkuda keluar dari halaman istal, perempuan itu membungkukkan tubuhnya dan berbisik, “Terima kasih.”
Dua kata yang diucapkan dengan bisikan lembut tadi membuat tubuh pemuda itu terasa melayang. Dia lalu menyadari dirinya tengah memanjat ke punggung kuda lain dan menyusul Laila. Perempuan itu mendengar Jubail menyusul di belakangnya, namun dia memilih untuk tetap tak memedulikan kehadiran pemuda itu, alih-alih dia justru mempercepat laju kudanya dan memperlebar jarak di antara mereka. Kemudian, dia membiarkan Jubail menjajarinya saat kembali ke istal. Kebisuan yang menyenangkan sejak tadi itu akhirnya pecah ketika Laila telah kembali ke halaman.
“Apakah kau mau berkuda lagi dengan kuda itu besok malam, Mistress Laila?” tanya Jubail, seolah-olah dapat membaca pikirannya, menyukai suara di bibirnya saat menyebut nama perempuan itu.
Laila tersenyum, menatap ke bawah, menanggapi dengan nada memohon, “Tolong, jangan beri tahu ayahku! Dia tak tahu aku bisa berkuda.”
Pemuda itu tertawa keras. “Kau benar-benar suka menunggang kuda!” katanya sambil berdecak kagum, matanya yang gelap memandangi wajah Laila dan suaranya terdengar serak dan mengandung tawa rahasia.
“Aku suka! Tapi, Ayah tak akan pernah membolehkanku berkuda; dia bilang berkuda itu tidak feminin!” ungkap Laila, matanya diam-diam melirik sosok maskulin pemuda itu.
“Yah, aku tidak tahu apa-apa tentang ‘tidak feminin’ itu, Mistress Laila, tapi kau jelas bisa menangani hewan ini dengan sangat baik.” Wajah perempuan itu berseri-seri karena senang. “Terima kasih.” “Ayahmu sedang pergi ke luar kota selama seminggu, bukan?” selidik Jubail. “Jadi, kau ingin berkuda setiap malam?”
Laila mengangguk, kepalanya menunduk dan rasa panas menjalari wajahnya; dia sedang melakukan konspirasi dengan pemuda itu, sama halnya yang dia lakukan dengan Begum.
“Baiklah, aku akan memasangkan pelana untukmu besok jam sembilan malam. Tapi, dengan satu syarat!” Laila langsung menengadah, wajahnya waspada. “Yaitu, aku harus menemanimu! Aku tak suka melihatmu berkuda sendirian di kegelapan. Bagaimana jika kau jatuh dan terluka? Dan seandainya ada orang yang mengetahui identitasmu yang sebenarnya?”
Laila mengangguk dengan enggan, menerima alasan pemuda itu. Dengan demikian, terbentuklah sebuah kebiasaan baru. Jubail akan berangkat dari rumah lebih awal, tak lama setelah makan malam, dan kembali ke istal untuk memasang pelana di atas punggung dua kuda. Diawasi oleh Begum, Laila akan menyelinap keluar dari hawali ke rumah Begum untuk berganti pakaian lelaki dan memasang serban di kepala atau menyelipkan rambutnya di bawah topi.
Mereka akan berkuda di tengah kegelapan, di bawah bintang-bintang yang berkilauan, menikmati ramainya suara jangkrik di sekitar mereka. Begum menunggu dan berjaga-jaga, bersyukur karena Jubail bersedia mengawasi majikan mudanya itu.
Berkuda bersama tanpa mengobrol itu tak lama kemudian berubah menjadi rasa geli yang aneh di antara mereka. Dan mereka tidak hanya mulai menikmati kebersamaan itu, namun juga menyadari bahwa balapan kuda menyeberangi tanah lapang itu ternyata menyenangkan. Dua kali Jubail membiarkan Laila menang. Mereka berdiskusi, berdebat, dan berbantahan tentang banyak hal—dari sinisme tentang politik Pakistan, korupsi, hingga tentang buku yang pernah mereka baca dan cita-cita mereka di masa depan untuk menggapai karier yang sukses. Perempuan itu sangat ingin mengetahui lebih jauh tentang kegiatan Jubail di universitas, dan pada gilirannya pemuda itu mencoba membujuk Laila untuk bercerita tentang kehidupannya sebagai putri seorang tuan tanah yang kaya di desa. Mereka merasa sangat tertarik dengan latar belakang masing-masing yang sangat berbeda. Yang satu dari keluarga makmur; yang satu lagi dari keluaga miskin.
Kembalinya ayah Laila dari luar kota menghentikan kebiasaan mereka berkuda bersama. Jengkel akibat terlalu dikekang, Laila sempat menyelinap dua kali ke istal untuk menghabiskan waktu bersama Jubail, menenggelamkan pemuda itu dengan tatapannya yang sayu, memaksa pemuda itu untuk berkata, “Dengar, Laila, aku akan kembali ke universitas besok. Malam ini adalah malam terakhirku berkuda. Kau mau ikut?”
“Ya!” Laila memohon, tertawa terkekeh, terlalu gembira, hingga matanya yang biru bening tampak berseri-seri. “Aku pergi dulu untuk berganti pakaian, dan memberi tahu Begum.”
Beberapa menit kemudian, seperti dua anak yang sedang melanggar aturan, mereka bergegas berkuda menembus kegelapan, Laila menoleh dari balik bahunya, jantungnya berdebar kencang.
“Aku akan merindukanmu,” katanya tergagap. “Maksudku, berkuda bersamamu,” katanya, buru-buru meralat kalimatnya, lalu berpaling. “Ini lebih menyenangkan ....”
“Aku juga suka berkuda bersamamu! Aku akan kembali saat liburan nanti,” kata Jubail berjanji, dadanya membusung karena rasa bangga.
“Bagus,” bisik perempuan itu, merasa tak nyaman dengan rasa panas yang menjalari kedua pipinya.
Hanya Begum yang mengetahui tentang kegiatan berkuda dan pertemuan diam-diam dengan Jubail, putra si perajin tembikar, itu. Dia terkejut saat melihat sekilas mata putri majikannya yang tampak hangat dan malu-malu, lalu dia merasa wajib memperingatkan perempuan muda itu tentang ketidakpantasan semua kegiatan mereka, dan tak mau repot-repot untuk berkata santun, “Sungguh tak bisa diterima saat ada putri seorang tuan tanah yang menghabiskan banyak waktu pada malam hari—dengan seorang lelaki yang tak punya hubungan keluarga, dan kebetulan juga putra seorang perajin tembikar yang miskin! Apa yang akan dipikirkan ayahmu seandainya dia mengetahui hal ini?” omel Begum.
Gulbahar, yang benar-benar tak mengetahui kegiatan putrinya dan keterlibatan emosionalnya dengan putra si perajin tembikar, sedang sibuk memusatkan perhatian pada persiapan pakaian pengantin Laila. Seorang tuan tanah, yang memiliki dua rumah dan tanah yang luasnya hampir dua setengah hektare atas namanya sendiri dari sebuah kota di dekat desa itu, telah menyatakan keinginannya untuk melamar putrinya. Gulbahar telah meminta Laila untuk mengikuti semua perkembangan tentang hal itu, sementara dia merencanakan pertunangan selama lebih dari periode beberapa bulan.
Laila mengabaikan semua itu; pikirannya terpaku pada Jubail, tak sabar menunggu sesi menunggang kuda bersama lagi nanti saat pemuda itu kembali setelah menjalani ujian akhir di universitasnya. Arslan, adik lelakinya, telah bersumpah untuk menjaga rahasia, sama seperti Ali dan Begum, walaupun keduanya enggan melakukannya, tentang kegiatan dan hubungannya dengan putra perajin tembikar itu.
Calon tunangan Laila dan keluarganya akan berkunjung pada tanggal yang telah ditetapkan untuk pesta pertunangan. Dengan pipi merah merona karena gembira, Gulbahar memberi tahu putranya yang berusia dua belas tahun bahwa kakak perempuannya akan segera menikah. Karena sangat akrab dengan kakaknya, dan kesal karena kemungkinan akan kehilangannya, Arslan bergegas mencari Laila untuk memberitahunya, tetapi kakaknya itu tak ada di kamarnya. Dia lalu keluar mencari Begum.
“Apakah kakakku pergi berkuda lagi?” Arslan dengan polos bertanya kepada Begum, sambil berjalan bolak-balik di dekat pintu istal. Dengan rasa khawatir yang seolah-olah mencekik kerongkongannya, mata Begum menatap ke tanah lapang yang gelap, mencari-cari sosok majikan mudanya yang banyak tingkah itu. Kuku Arslan menusuk lengan Begum saat dia teringat bahwa ayahnya juga sedang keluar berkuda.