Rewind>>

Syarifah Suharlan
Chapter #13

Perceraian

PERCERAIAN

 

           Mahligai rumah tangga laksana merawat sebuah istana kecil yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang adil. Di dalam istana ada interior yang indah untuk menjadikan penghuni istana nyaman tinggal di dalamnya. Rumah tanggaku bukanlah sebuah simbol istana. Rumah tanggaku seperti rumah tangga masyarakat umum lainnya terdiri dari suami istri dan anak-anak yang lahirkannya.

           Lima tahun pertama pernikahan adaptasi rutin kami jalani diiringi kelahiran anak-anak kami yang lahir berdekatan. Program keluarga berencana kulakukan ketika kelahiran anak bungsuku sudah lahir kedunia. Berat rasanya memberi perhatian yang sama kepada anak-anak balitaku dengan keuangan suami yang belum menentu. Aku hanya berprinsip setelah akad nikah diucapkan maka taat kepada suami menjadi sebuah “bensin” penggerak kendaraan kami dalam berlayar di samudera pernikahan.

           Sepuluh tahun kedua pernikahan kami masih stabil tegak berlayar menghadapi kendala-kendala hidup yang kami dapati dari arah jalur internal, eksternal dan iri dengki saudara sendiri. Setelah insiden aku diusir oleh abang kandungku yang nomor lima, aku pamit kepada ibuku yang sudah sepuh untuk pindah dan mengontrak di sebuah rumah kecil agar menghindari gesekan pertengkaran ketika abangku meminta rumah yang ditempati ibu bersamaku untuk dijual demi warisan bapak atau hibah dari ibuku.

           Setelah pindah kerumah kecil merawat anak-anakku yang masih bersekolah SMP dan SMA layar terkembang kembali membawa kapal rumah tanggaku ke pengalaman-pengalaman yang baru. Aku dan suami melanjutkan kuliah paska sarjana di bidang disiplin ilmu yang berbeda. Anak-anakku tumguh besar menjadi remaja dewasa. Semakin mereka besar, rumah kecil kami tak mampu menampung lagi tubuh-tubuh remaja mereka sehingga setelah tujuh tahun mengontrak, kami kembali kepada tempat tinggal ibuku untuk merawatnya yang semakin sepuh.

           Menginjak tahun pernikahan yang kedua puluh empat, aku merasakan kehampaan hati yang luar biasa, rutinitas yang membosankan antar suami istri membuat fikiran dan hatiku menjadi gelisah tentang identitas diri. Komunikasi yang bertambah renggang dan sibuk pada kegiatan masing-masing menjadikan hubungan suami istri minus inovasi.

           Aku telah berfikir masak-masak untuk mengakhiri pernikahanku, aku ingin punya dunia yang baru, aku ingin terlahir kembali dengan semangat yang fresh dan menjalani kegiatan yang belum pernah kujalani selama aku menjadi seorang istri dan seorang ibu. Aku tahu keputusanku bisa 50% mengandung mudharat dan 50% bisa juga menghasilkan manfaat, aku tertantang untuk keputusan itu.

Latar belakang beberapa pertengkaran dengan suami dari tingkat rendah hingga tingkat ekstrim pernah aku lakukan dan aku sangat menyesalinya karena tiada peran konseling untukku dalam membagi beban.

           Aku diskusikan dengan anak pertamaku yang sudah berumur dewasa agar aku dizinkan untuk lepas dari ayahnya. Dia hanya meminta syarat untuk tetap memprioritaskan anak dan adik-adiknya dalam tanggung jawabku. Aku menyetujuinya. Tibalah aku membicarakan dengan suamiku sendiri perihal perceraian ini.

           “Ayah…sebaiknya kita bercerai saja.” Ucapku dalam suatu kesempatan di ruang keluarga.

           “Mengapa kamu selalu mengucapkan kata cerai itu bila sedang gelisah, sekarang apa lagi yang terjadi..?” tanya suamiku.

           “Begini yah, saya hanya memberikan usulan agar kita berpisah secara baik-baik. Kamu dan saya sudah sama-sama mengetahui ada yang kurang beres pada jiwa saya selama mengarungi bahtera rumah tangga dengan kamu. Saya gampang lelah, saya mudah marah kepada kamu dan saya menjadi pribadi yang berbeda yang kadang saya tidak tahu peran istri saya saat ini dalam format apa, kita jarang berkomunikasi mendalam, hubungan suami istri juga sudah datar dan jarang kita lakukan, saya hanya ingin menyudahi saja pernikahan ini dengan baik-baik.” Uraiku datar.

           “Lalu kalau ada orang yang bertanya mengapa kita bercerai, jawabnya apa?” tanya suamiku lagi.

           “Kalau aku akan menjawab…yah karena umur jodohnya sudah selesai.” Jawabku.

Lihat selengkapnya