“Eeh, jadi kau tidak ikut study tour?”
“No offense, tapi tabunganku sudah cukup kering tanpa harus bayar 450 ribu.” Alisha menyeruput kuah bakso dan mengernyit. “Tolong ambilkan kecap, dong.”
Andini mendorong botol kecap kepada Alisha dan menontonnya menuang kecap itu sampai kuah baksonya berubah jadi lebih mirip aspal cair.
“Yakin, nih? Jalan-jalan terakhir kali lho, sebelum lulus,” bujuk Andini sambil mengedip-ngedipkan mata dengan manja. Alisha melempar tisu bekas ke wajahnya. “Ih!”
“Dari kemaren juga jalan-jalan terakhir terus alasannya,” balas Alisha. “Lagipula kan aku sudah ikut study tour ke museum kota. Itu saja sudah asyik.”
Andini mengerucutkan bibir. “Iya, sih, tapi itu kan di dalam kota.”
Alisha mengibaskan sebelah tangan. “Tidak minat,” tandasnya pendek. “Aku masih mengincar album barunya Deko*23, jadi uangnya mending aku simpan dulu.”
Andini menghela napas, tetapi kecewanya hanya pura-pura. Sedetik kemudian ia kembali ceria. “Iya, deh, seenakmu saja gimana. Nanti aku kabari dari sana.”
Alisha mendengus keras dan hidungnya nyaris kemasukan kuah bakso. “Oh, pasti. Aku tebak sekarang saja, pasti nanti kau malas membongkar barang bawaanmu di hotel, lalu akhirnya kau video call aku duluan biar bisa menunda pekerjaan.”
“Jangan diperjelas juga, dong!”
“Salah sendiri kebiasaan.”
Andini menyasar kaki Alisha di bawah meja dan berhasil mengenai tulang keringnya. Sambil meringis, Alisha balas menendang kaki sahabatnya. Andini membalas lagi. Keduanya baru berhenti ketika nasi goreng pesanan Andini akhirnya jadi dan diantar ke meja mereka.
“Oh, iya deng, selamat ulang tahun!” seru Andini tiba-tiba di tengah suapan. Alisha menatap butir-butir nasi yang terlontar dari mulut sahabatnya dan, sembari mengambil tisu untuk membersihkan meja, diam-diam bertanya-tanya mengapa anak orang kaya seperti Andini kelakuannya sama saja absurd-nya seperti remaja SMA biasa.
“Makasih,” sahutnya, mau tak mau tersenyum. Ia sendiri lupa hari ini ulang tahunnya. Ia menangkap gerak-gerik Andini yang resah dan menyimpulkan bahwa gadis itu tadi hanya pura-pura lupa dan ini semua hanya bagian dari rencana entah apa buatannya.
“Nanti mau ke kelasku dulu tidak, sebelum bel masuk?” tanya Andini.
Kan, apa tebakan Alisha? Ia menahan senyum dan sengaja mendatarkan nada suara ketika ia menjawab, “Mm, lihat nanti, deh. Aku masih belum selesai mengerjakan PR ekonomi. Kenapa, ada perlu?”
“Ah, itu, tidak sih, tidak penting-penting amat–”
“Ada yang mengganggumu di kelas?”
“Tidak! Bukan itu, cuma aku punya, eh–” Andini semakin gelagapan. Alisha menyesap teh esnya sambil menaikkan sebelah alis. Andini akhirnya memukul meja untuk menyetop racauannya sendiri. Manik-manik di gelangnya bertabrakan dengan ricuh. “Itu– pokoknya kau ke kelasku!” serunya pada akhirnya.
“Oke,” sahut Alisha.
Andini tersadar, lalu mencondongkan diri ke seberang meja untuk memukul lengan Alisha dengan kesal. “Ih! Kau sengaja, ya?!”
“Kau mudah diganggu, sih,” kata Alisha kalem, membiarkan saja Andini memukul lengannya sesuka hati.
Maka setelah mangkuk, piring, dan gelas-gelas mereka tandas dari makanan, Alisha mengikuti tarikan tangan Andini pada lengannya dan berjalan cepat menyusuri selasar sekolah.
“Buru-buru sekali,” komentarnya, tetapi tidak memperlambat langkah. “Ulang tahunku masih sampai malam nanti, kok.”
Andini mendelik padanya. “Shush, jangan bicara.”
“Oke.”
“Kubilang kan jangan bicara!”
Alisha tertawa. “Oke.”
Teman-teman sekelas Andini tidak ada yang menengok dua kali melihat gadis itu setengah menyeret Alisha ke dalam. Wajah Alisha yang tidak pernah jauh-jauh dari ekspresi keruh sudah jadi pemandangan sehari-hari di sana karena Andini. Alisha bahkan jadi mempunyai beberapa teman lain di sana.
Andini membawa Alisha ke tempat duduknya yang ditempeli stiker dan dicoret dengan pewarna kuku. Andini menunduk dan menarik keluar sebuah tas kertas berwarna putih dengan motif polkadot dari kolong mejanya. Di bagian depan tas itu tertera nama Alisha dengan tinta keemasan yang berkerlap-kerlip di bawah cahaya matahari dari jendela.
“Nih!” kata Andini dengan keriangan yang menyaingi anak usia tiga tahun yang diberi es krim. “Selamat ulang tahun! Eh, tadi sudah kuucapkan, ya? Tidak apa-apa deh, sekali lagi. Semoga panjang umur, sehat selalu, dan makin cantik ya!”
“Amin,” Alisha menyahut sambil tersenyum. Ekspresi yang lebih hangat menyusup ke wajahnya yang memang muram secara alami. “Tapi mau secantik apa pun, toh nanti kita semua akhirnya akan jadi tanah lagi.”
“Iya, sih, tapi kan berdoa tidak ada salahnya.” Andini mendorong tas kertas itu ke pegangan Alisha. “Hadiahmu, nih! Semoga kau suka, ya. Kalau tidak suka juga tidak apa-apa, tapi jangan bilang ke aku.”
Alisha tertawa. Ia menerima tas kertas itu dan mulai mengelupas potongan selotip yang menyegel bukaannya. “Aku buka sekarang, ya?”
“Eh–?! Ya, terserah, sih. Tapi–”
“Aku pasti suka, kok,” tegas Alisha. “Hadiah darimu yang mana yang tidak aku suka?”
Andini merengut, tetapi ia tidak mencoba menghentikan Alisha. “Pokoknya kalau tidak suka, pura-pura suka saja.”
“Iya, iya….”
Di dalam tas kertas itu ada sebuah kotak hitam polos. Bahannya kokoh dan permukaannya mulus. Alisha nyaris menjatuhkannya karena kotak itu lebih berat dari yang ia kira.
Kalung? Gelang? Jam tangan? Mungkin bukan kalung. Andini tahu Alisha tidak pernah memakai kalung karena takut tercekik saat berguling-guling kala tidur.
Alisha menekan tombol perak kecil di bagian depan kotak dan mendorong tutupnya membuka. Matanya melebar, lalu berganti-ganti melihat ke arah isi kotak dan wajah Andini.
“Din,” ia memulai, lalu terdiam. “Ini– serius? Harganya, kan…?”
Andini mengibaskan sebelah tangan. Tak ada kekhawatiran sedikit pun di wajahnya. “Harganya pantas, kok, untuk barang kualitas itu. Worth it.”
“Din. Andini.”
“Ini kan ulang tahun terakhirmu di masa SMA!” kata Andini, mendadak defensif di bawah tatapan tak percaya Alisha. “Anggap saja sekaligus hadiah perpisahan! Uangnya bukan masalah buatku, kok, sumpah deh!”
Alisha meletakkan kotak itu di atas meja dan memeluk sahabatnya erat-erat, menghentikan banjir kata dari mulut gadis itu. “Makasih banyak. Aku suka hadiahnya.”
Andini membeku sejenak karena kaget sebelum tertawa riang dan menepuk-nepuk punggung Alisha. “Sama-sama! Selamat ulang tahun, ya!”
“Sudah tiga kali kau ngomong begitu.”
“Tidak apa-apa dong, biar pas tiga kali. Third time’s the charm atau apalah itu, kan?”
Alisha mendengus dan melepaskan pelukan. Ia meraih kotak hadiahnya lagi untuk menatap isinya.
Sebuah jam tangan bergelung di sana, melingkari bantal putih kecil di dalam kotak. Wajah jam tangannya berwarna hitam, dengan jarum dan motif kupu-kupu keemasan. Bezel-nya juga berwarna sama, kontras dengan tali jam yang terbuat dari kulit sintetis berwarna hitam. Di tali itu telah dicetak motif sekelompok kupu-kupu kecil berwarna emas pula, yang melenyapkan kesan tua dari desain jam itu secara keseluruhan.
Di sebelah jam tangan ada sebuah gelang rantai dengan liontin kupu-kupu, menyamai jamnya. Bagian sayap atas kupu-kupu itu hitam, sedang bawahnya putih. Kait di kedua ujung rantai tampaknya bisa langsung dipakai ataupun dikaitkan dulu ke jam tangan sehingga keduanya bisa jadi satu set.
Alisha dengan hati-hati melepaskan jam tangan itu dari bantalan di dalam kotak dan memutar-mutarnya. Ia berhenti pada satu titik, tertegun. Di plat belakang jam itu telah diukir nama lengkapnya dengan huruf-huruf sambung yang cantik – Alisha Indrawati. Tatapannya jatuh ke ekspresi bangga Andini yang kekanak-kanakan.
“Din, ini di-customized?”
“Iya! Aku pesan ke orangnya bisa dikasih nama atau tidak. Katanya bisa, jadi–”
“Ini … benaran boleh aku terima?” tanya Alisha, tanpa sengaja memotong jawaban sahabatnya.
“Ya diterima, lah! Gila! Masa mau dikembalikan? Kan sudah ada namamu di situ, mustahil dong aku kasih ulang ke orang lain,” sahut Andini. Ia terlihat sangat bangga, seakan ia adalah seorang tokoh antagonis dan Alisha telah jatuh ke perangkapnya. Alisha ingin mencubit pipi sahabatnya itu gemas sekaligus ingin memeluknya sekali lagi.
Alisha menatap jam tangan dalam pegangannya. Ia melingkarkan talinya ke sekeliling pergelangan tangan, lalu menguncinya di ukuran yang benar. Warna emas dan hitamnya berkilau di bawah sinar matahari dan Alisha bisa merasakan ukiran namanya sendiri di kulitnya.
“Makasih sekali lagi, ya,” ucapnya, karena tak ada kata-kata lain yang pantas diucapkan. Senyum Andini melebar sampai kedua pipinya terdorong ke atas, membuat matanya menyipit dengan manis. Ia meraih gelang di dalam kotak dan memasangkannya ke tangan Alisha, tepat di bawah jam tangan. Alisha membiarkannya.
“Makanya, ikut study tour biar kita bisa jalan-jalan bareng lagi,” cetus Anindi sambil nyengir.
“Ah, itu toh alasanmu memberiku hadiah mahal,” sahut Alisha, “Untuk menyogokku ikut study tour. Tulusmu ada batu tempat udang sembunyi ternyata ya, Din?”
“Enak saja! Hadiah ini murni kuberi dengan hati yang suci, kok!”