Sebelum terbangun di tengah malam dari tidurnya yang menggigil dan penuh sensasi panas-dingin, Alisha bermimpi. Kejadian ini tidak spesial, apalagi bagi orang sakit. Seakan tidak cukup tubuh mereka yang memberontak, otak mereka juga ikut sibuk menanam bibit-bibit bunga tidur yang absurd.
Tadinya mimpi Alisha biasa-biasa saja, tipikal mimpi orang demam. Bola merah raksasa, kegelapan yang menghimpit, mimpi jatuh, dikejar sepeda roda satu, dan lain-lain.
Lalu latarnya berubah. Pemandangan yang tadinya berwujud siluet perkotaan saat matahari terbenam yang mirip hasil gambar anak TK meleleh seperti cat basah, digantikan oleh sesuatu yang lebih jelas, seperti sebuah adegan dari film.
Kesadaran Alisha, yang sudah sadar bahwa ini hanya mimpi tetapi belum cukup sadar untuk bangun, melihat sosok yang melayang di langit. Dari tempat Alisha berdiri/melayang/duduk/???, sosok itu hanya terlihat seperti sehelai kain hitam yang ditudungkan pada seseorang. Mungkin sosok itu hantu. Mungkin ini mimpi dikejar-kejar bagian dua.
Di bawah mereka ada sebuah jalan bebas hambatan yang diapit hutan. Semua kendaraan yang lewat tidak repot-repot menjaga kecepatan karena area yang sepi, sehingga bahkan di dalam mimpi pun Alisha bisa merasakan angin dan getaran dari mobil-mobil yang ngebut.
Ada sebuah bus. Begitu bus itu muncul di jalanan, Alisha yang sedang berdiri/melayang/duduk/??? tertarik masuk ke dalamnya. Di dalam bus, wajah-wajah familier teman satu sekolahnya menyambut.
Bus study tour. Alisha memimpikan bus study tour. Apakah ini pertanda bahwa sebenarnya ia sedih karena tidak bisa ikut? Padahal Alisha tidak merasa dirinya sendiri. Namun kalau sampai terbawa mimpi seperti ini, artinya….
“Oh,” ucap sebuah suara yang tidak ia kenal.
Alisha menoleh. Sosok hitam itu ada di dalam bus, berdiri tegak dan menjulang. Wajahnya cukup manusiawi, dengan kulit pucat, dua mata, satu hidung, dan satu mulut. Hanya saja matanya – aneh. Warnanya keemasan dan berpendar seperti koin. Rambutnya hitam panjang dan diikat di pangkal tengkuk, menjuntai hingga ujungnya menyentuh lantai bus. Pakaiannya serba hitam – kemeja, dasi, jubah bertudung, celana panjang, sepatu, dan sarung tangan. Yang tidak hitam hanya name tag di dada kanannya yang putih gading.
Tulisan yang tertera: Nihil Rasend–
“Kau tidak seharusnya ada di sini,” kata sosok itu – Nihil? – dengan gugup, memotong bacaan Alisha. “Waktumu masih banyak. Kenapa … kau siapa?”
Alisha tidak menjawab. Mimpi yang aneh. Rasanya ia tidak pernah mengkhayalkan orang seperti ini sampai sosoknya bisa masuk ke dalam mimpi.
Ada bunyi aneh dari arah depan. Alisha mengalihkan pandang dari Nihil dan menoleh.
Pemandangan dari jendela depan bus berputar dengan aneh, seperti lukisan bercat basah yang digosok dengan tangan. Bagai smear frame pada film kartun.
Ada bunyi aneh lagi, seperti besi berat yang tergencet. Lalu semuanya miring. Barang bagasi berjatuhan bagai hujan. Gravitasi mendekap badan bus dengan alamiah.
Jeritan berkumandang.
BRAK!
Satu.
SKRRRTTTT!
Dua.
BRAK!
Tiga.
Empat. Lima. Enam.
Stop.
Alisha mengerjap, lalu menghembuskan napas yang tertahan. Lampu di dalam bus berkedip-kedip, disertai potongan-potongan besi dan plastik keras yang berguguran. Jendela-jendela di bagian kanan menjadi atap, menghadap ke langit cerah di atas mereka. Darah menetes dari semua arah. Asap hitam membubung keluar. Suara tangisan.
Ia menoleh ke belakang, mendadak merasa kebas. Nihil masih ada di sana. Tatapan nanar mereka bertemu. Lalu Nihil panik.
“Oh, oh, kau tidak– kau bukan–” Ia menjambak rambutnya sendiri sambil menuding Alisha. “Oh tidak, ini buruk. Buruk. Bodoh, kenapa aku tidak mengecek ulang– tolol!”
Alisha mundur selangkah menjauhi pemuda (?) yang sedang kalap itu, tetapi pergerakannya justru menarik perhatian Nihil padanya.
“Kau tidak boleh ada di sini,” desisnya tegang sambil berjalan mendekat. Ia mencengkeram kedua bahu Alisha dengan keras dan berkata, dengan kedua mata yang berpendar mengerikan, “Bangun!”
Alisha bangun.
Ia langsung duduk, terkesiap. Napasnya memburu. Jantungnya berderu seperti lari kuda pacu. Keringat dingin dan denyut di belakang kepala mengingatkannya pada demamnya.
Mimpi demam. Semua itu tadi hanya mimpi demam.
Ia meraba-raba nakas dan menyambar botol minum yang ia letakkan di sana. Isinya yang setengah penuh tandas dalam sekejap. Tenggorokan Alisha tetap sakit, tetapi setidaknya tidak sekering sebelumnya. Dadanya nyeri, kemungkinan besar karena bangunnya yang mendadak.
Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya selama mungkin. Kelopak matanya terasa berat, tetapi sisa-sisa mimpi buruknya masih mengintai dari sudut mata, jadi Alisha hanya memejamkan mereka sambil menahan kantuk. Namun mimpi itu tak kembali, meski bayang-bayangnya masih melapisi memori Alisha seperti filter aplikasi sosial media.
Alisha jatuh tertidur setelah dua jam menahan kantuk.
Ia memimpikan bola merah raksasa.
***
Andini
lihat, nih!! bus!!!
Alisha