Alisha tidak ingat menangis. Ia tidak ingat sempat semaput di sofa. Ia tidak ingat harus ditenangkan Ibu sampai dua jam.
Yang ia ingat, ia mencoba menelepon Andini sesorean. Berharap, berdoa bahwa akan ada yang mengangkat.
Namun ‘memanggil’ sama sekali tidak berubah jadi ‘berdering’.
Ia mengirimkan pesan. Lusinan pesan, dimulai dari menanyakan kabar, membentak sahabatnya, sampai melontarkan lelucon tolol yang biasanya akan direspons Andini dengan emoji kesal.
Semuanya centang satu.
Alisha membanting HP-nya ke nakas dan membenamkan wajah ke tangan. Napasnya gemetaran sejak pagi. Suhu tubuhnya naik lagi sejak siang, disusul denyut nyeri di kepalanya yang kini lebih cocok disebut kena pukul daripada berdenyut.
Ya Tuhan….
HP-nya berdering. Alisha tersentak begitu cepat sampai belakang kepalanya menghantam dinding. Ia bahkan tidak sempat meringis, terlalu terburu-buru menyambar HP dari nakas.
Panggilan dari nomor tak dikenal. Melawan instingnya, Alisha menerima panggilan itu.
“Halo?” tanyanya, lalu kaget mendengar suaranya sendiri. Serak dan tipis, seperti perokok sekarat.
Ada suara isakan samar dari seberang panggilan. “Halo,” kata suara seorang wanita, “ini benar nomornya Nak Alisha?”
“Iya, benar. Ini siapa, ya?”
“Ini ibunya Andini.”
Ah. Alisha memejamkan mata. Ia bersandar ke dinding dan memeluk lututnya dengan saty tangab. Dadanya nyeri. Apa yang harus ia katakan? Apa yang bisa ia ucapkan?
“Turut….” Ia menjeda sejenak, kata-kata itu seperti tersangkut di tenggorokannya. “Turut berduka cita, Tante.”
“Terima kasih banyak, Alisha,” sahut Ibu Andini. “Tante menelepon kamu karena … ada yang mau Tante tanyakan.”
Andini mengangguk, meski Ibu Andini mustahil bisa melihatnya. “Tanya saja, Tante.”
“Kami sudah dapat kabar kondisi Andini dari rumah sakit di sana,” jelas Ibu Andini. Alisha mendehum samar tanda ia mendengarkan. “Pemakamannya … pemakamannya belum dijadwalkan, tapi kalau kami sudah menentukan tanggal, apa Alisha bersedia datang? Kalau tidak juga tidak masalah, tapi Tante akan senang sekali kalau–”
“Saya mau datang, Tante,” kata Alisha, tanpa sengaja memotong perkataan Ibu Andini.
“Ah, baguslah,” kata Ibu Andini dengan lembut. “Tante senang mendengarnya. Andini sering sekali bercerita tentangmu, tahu.”
Alisha bisa menerka itu. Andini bukanlah tipe yang diam-diam saja jika ia punya teman. “Oh ya, Tante?”
“Mm,” gumam Ibu Andini. “Semenjak dia mulai bercerita tentangmu, dia kelihatan lebih senang.”
“Saya juga senang berteman dengan Andini,” sahut Alisha. Ia akhirnya membuka mata. “Tolong kabari saya kalau tanggal pemakamannya sudah ada ya, Tante.”
“Oh! Iya, nanti Tante telepon kamu lagi. Tante simpan nomormu ya, biar tidak lupa.”
“Mm. Terima kasih sudah menelepon.”
“Terima kasih sudah menjadi teman Andini,” balas Ibu Andini dengan ketulusan yang Alisha tidak tahu cara membalasnya.
Jadi, ia memutus pembicaraan dengan alasan khas remaja: “Ah, maaf Tante, saya dipanggil ibu saya. Terima kasih, ya, sudah repot-repot.”
Kali ini, HP-nya ia letakkan di nakas tanpa dibanting. Alisha merebahkan diri di tempat tidur, menatap nanar pada lampu di atas kepalanya. Laron-laron berkeliaran masuk mengelilingi bohlam. Di luar jendela, terlihat awan kelabu diiringi angin sejuk berarak di langit. Padahal, perkiraan cuaca di TV tadi pagi menyatakan bahwa hari ini akan cerah sampai malam.
Alisha memejamkan mata dan memutar tubuh hingga berbaring menyamping. Tubuh dan pikirannya lelah setelah didera berita buruk dari pagi, maka meskipun ia tak ingin tidur, kelopak matanya tetap terasa berat.
Alisha tidur-tidur ayam, kesadarannya mengambang di antara dunia nyata dan alam mimpi. Dalam keadaan seperti itu, kilasan mimpi buruknya tadi malam muncul mendadak.
BRAK!
SKRRRTTTTTTT—!
Jeritan berkumandang.
Mata Alisha membelalak. Ia terduduk. Mimpi itu. Mimpi tadi malam. Ia memimpikan kecelakaan bus itu tadi malam, ia menyaksikan sendiri kecelakaan itu, ia ada di dalam bus.
Mimpinya jadi kenyataan.
Ibu menatapnya dengan sedih ketika Alisha bercerita padanya dengan terburu-buru, satu kalimat bertabrakan dengan kalimat yang lain.
“Memang ada kan, fenomena seperti itu?” tanya Ibu setelah ia selesai bercerita. “Orang-orang yang melihat kejadian di masa depan lewat mimpi, entah bagaimana caranya. Mungkin kamu … mungkin Lisha mengalami yang seperti itu.”
Di depan ibunya, Alisha mengangguk mengiyakan. Di kamarnya, sendirian hanya dengan figurin-figurinnya, Alisha berpikir.