Rewind, Until 100%

Aisya A. A.
Chapter #4

[Bab 4]

Nihil menatapnya dalam diam. Ada suatu emosi tak tergambarkan di dalam matanya, lalu ia menyerbu Alisha sambil berteriak. 

Kaget, Alisha melempar diri ke lantai. Kepalanya membentur lantai dan pandangannya berkunang-kunang. Ia mengayunkan kaki. Tendangannya kali ini telak mengenai rahang Nihil. Pemuda (?) itu berguling ke samping sambil mengerang kesakitan. 

“Kurang ajar!” seru Alisha sambil kembali berdiri dengan terburu-buru. Ia masih memakai gaun robek dalam ruangan tertutup bersama seorang laki-laki. Risih bahkan tidak cukup untuk mendeskripsikan perasaannya. “Kau mau apa?!” 

“Ugh,” erang Nihil sambil menekan rahangnya yang juga tidak biru, meskipun Alisha telah menendang sekuat tenaga dan sol sepatunya terbuat dari karet keras. Namun tidak apa-apa. Selama Nihil masih bisa merasakan sakit, Alisha tetap bisa membela diri atau menyerangnya. 

“Jadi kau bisa merasa sakit,” Alisha mendata dengan cepat, “tapi kau bukan manusia. Seharusnya bukan hantu juga, karena kau … tidak mati? Bukan iblis, karena iblis tidak mengoleksi jam. Jadi, kau ini apa?” 

“Itu bukan pertanyaan yang sopan, tahu–”

“Terus meracau, kau akan kucekik lagi,” Alisha mengancam. Nihil mengatupkan mulut, lalu menghindari tatapan Alisha dengan putus asa. 

“Kalau kau tahu…,” ia memulai, lalu menjeda. “Kalau aku menjawab pertanyaanmu, apa yang akan kau lakukan?”

“Kau membunuh Andini,” balas Alisha tajam, “kau pikir apa yang akan kulakukan?”

“Aku sudah bilang aku bukan pembunuh!” kata Nihil. “Teman-temanmu mati karena memang sudah waktunya!” 

“Tapi kau ada di sana, di mimpiku malam itu,” kata Alisha. 

“Ya memang! Ini tugas pertamaku di sini, makanya aku mau melihat keadaannya lebih dulu sebelum waktuku bertugas,” Nihil membela diri. 

“Lalu kenapa aku ada di sana?” 

“Bukannya aku sengaja!” 

“Tunggu,” gumam Alisha lagi, potongan-potongan puzzle beradu di dalam kepalanya. “Kalau kau tidak bermimpi, artinya kau yang ada dalam mimpiku itu dirimu yang sebenarnya?” 

“Memangnya aku punya diri yang palsu?” 

Alisha mengabaikan pertanyaan Nihil. “Berarti kau secara fisik ada di sana, di masa depan. Lalu waktu aku memegang jubahmu, kau membawaku ke sini dan aku baik-baik saja.” Ia menatap Nihil lekat-lekat. “Kau bisa membawaku ke masa lalu.” 

Nihil mengernyit dalam dan beringsut menjauh dari Alisha. “Tidak.” 

“Bohong. Kau bisa.” 

“Kalaupun aku bisa, memangnya untuk apa kau mau pergi ke masa lalu?” 

Jam tangan pemberian Andini terasa panas di pergelangan tangan Alisha. Senyum sahabatnya itu seakan terpantul pada kaca pelindung jam. 

“Menyelamatkan Andini.” 

Sunyi. 

“Andini … temanmu … waktunya memang sudah habis,” ucap Nihil pelan. Ekspresinya berubah menjadi lebih tenang dengan sebuah senyum kecil. Alisha merasa seperti seekor hewan liar yang hendak ditangkap dan dikerangkeng melihat tatapan itu. “Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan.” 

“Mungkin waktunya memang sudah habis kemarin,” sahut Alisha. “Karena itu aku ingin pergi ke masa lalu. Di sana, waktunya belum habis.” 

“Menyelamatkan orang mati itu melanggar peraturan,” protes Nihil. 

“Buatmu, mungkin iya. Padaku tidak ada aturan seperti itu,” balas Alisha. 

Ekspresi Nihil tak berubah. 

Jam tangan di pergelangan Alisha terasa berat. Begitu pula dengan hadiah-hadiah lain yang telah diberikan Andini padanya dengan cuma-cuma. 

“Aku berutang banyak padanya,” kata Alisha pelan. “Aku tidak pernah memberinya apa-apa. Aku bukan teman yang baik.” 

Nihil menatapnya lama, lalu menghela napas dan mengusap wajah. Ekspresinya melunak. “Mungkin … kalau cuma satu kali kurasa tidak apa-apa,” ucapnya sambil berpikir. “Kau cuma ingin bertemu temanmu sekali lagi, kan?” 

Alisha mengangguk. Kedua tangannya membuka dan mengepal, telapaknya basah dan dingin. “Mm.” 

Nihil merogoh saku dan mengeluarkan sebuah jam saku antik berwarna perak. Di tutupnya terukir sebuah mata yang terbuka. “Oke. Cuma satu kali. Kemarilah, kalau kau sejauh itu dariku, kau bisa kehilangan kaki atau tangan saat kita pergi.” 

Alisha beranjak ke samping Nihil dan merenggut hem jubahnya seperti beberapa saat yang lalu. Nihil mengutak-atik jam sakunya dengan satu tangan. 

“Kau mau kembali sampai berapa hari ke belakang?” tanyanya. “Seminggu?” 

Alisha mengangguk cepat. Ia tidak tahu apakah Nihil mau diajak bernegosiasi, jadi lebih baik menerima tawarannya sendiri. Lagipula, seminggu … seminggu itu tepat sehari sebelum Andini mati. Mungkin ia bisa menemukan solusi untuk menyelamatkan Andini dalam seminggu. 

Nihil selesai mengutak-atik jamnya. Ia kembali menutup jam itu dan memegang ujung rantainya. Dengan gerakan yang terlihat terlatih alih-alih konyol, Nihil lalu mengayunkan jam itu sampai ia berputar 360 derajat di udara. Begitu wajah jam kembali berada di bawah, mereka berdua telah hilang dalam kepulan pasir. 

***

Alisha telah bersiap-siap sadarkan diri dengan pasir di mulut. Namun begitu ia membuka mata, ia bernapas dengan benar – tidak ada pasir di tenggorokan maupun hidungnya. 

“Yang sebelumnya aku tidak menyangka kau ikut denganku, makanya pasirnya jadi tertelan,” jelas Nihil tanpa ditanya. Ia menggulung rantai jamnya dan mengembalikan benda itu ke dalam saku. “Nih, satu minggu yang lalu, jam tujuh pagi di sekolahmu. Temanmu mana?” 

Alisha memandang sekeliling dengan sedikit tidak percaya. Ketika ia menunduk, gaun hitamnya telah digantikan oleh seragam sekolah. Ada noda tinta di hem bagian bawah yang seharusnya sudah bersih setelah ia cuci kemarin dulu. Ini benar-benar di masa lalu? 

“Belum datang,” jawabnya, sedikit telat. “Andini biasanya datang agak siang.” 

“Ugh,” gerutu Nihil. “Jadi aku harus menunggu kalian selesai dulu?” 

“Kau bisa pergi. Kan kalau aku tetap di sini, waktunya akan kembali berjalan seperti biasa,” kata Alisha. 

Nihil menggeleng. “Cara kerjanya tidak begitu. Secara teknis, kau ini anomali waktu. Seharusnya kau tidak boleh ada di sini karena di dalam otakmu sudah ada memori masa depan,” ia menjelaskan. “Jadi, begitu urusanmu selesai, aku harus mengembalikanmu ke waktu asalmu.” 

“Kau tidak menjawab pertanyaanku,” kata Alisha. 

“Yang mana? Kau kan banyak tanya,” balas Nihil kesal. Semakin lama mereka menunggu, semakin uring-uringan ia. 

“Kau ini bukan manusia, kan? Iblis atau hantu juga bukan. Jadi, kau ini makhluk apa?” Beberapa murid lain masuk ke area sekolah dan berjalan melewati tempat Alisha dan Nihil berdiri. Saskia, salah satu teman sekelas Alisha – oh, benar, dia juga korban kecelakaan itu – melambai ke arah Alisha, tetapi pandangannya tak sekali pun melenceng ke arah Nihil. “Orang lain juga tidak bisa melihatmu. Apa aku bisa karena aku sudah pernah melihatmu dalam mimpi?” 

“Karena itu,” Nihil mengiyakan, “dan karena aku tidak sempat menghapus ingatanmu tentangku.” 

“... Kau bisa melakukan itu?” 

“Aku tinggal memundurkan ingatanmu cukup jauh lalu pergi dari TKP, jadi ingatanmu akan tertulis ulang tanpa ada aku di sana.” 

“Jadi, kau ini apa?” Alisha mengulang pertanyaannya. Ia takkan membiarkan Nihil terus-terusan mengalihkan pembicaraan. 

Wajah Nihil berubah masam. “Kau tidak akan diam selama aku tidak menjawab, ya?” 

“Bukannya kau tinggal membuatku lupa, kalau memang sepenting itu?” desak Alisha. 

“Kau … tidak salah.” Nihil menghela napas. “Aku ini Penjaga Waktu. Satu di antara sekian ratus juta. Tugasku adalah, yah, kau sudah lihat sendiri, kan? Aku memanipulasi dan memeriksa jalannya waktu agar semuanya sesuai jadwal.” 

Alisha menggigit-gigit bagian dalam pipinya, berusaha memproses informasi itu secepat mungkin. Ia menolak menyentuh implikasi keberadaan para ‘Penjaga Waktu’ ini dan kaitan mereka dengan Tuhan. Sekarang bukan waktunya untuk mengalami krisis religiusitas. 

Lihat selengkapnya