Sebelum putaran selanjutnya, Nihil memberi Alisha satu set seragam serba hitam seperti miliknya.
“Buat jaga-jaga,” ucapnya. “Kalau atasanku ada yang mengecek, setidaknya kau terlihat seperti rekan kerjaku.”
Alisha setuju saja, tidak berminat memperpanjang topik itu dengan pertanyaan atau protes. Setelah putaran ke masa lalu yang pertama, seragam sekolahnya kembali berubah ke gaun hitamnya yang berpasir, bertanah, dan robek. Jadi, meskipun keadaannya tidak ideal, ia sedikit bersyukur telah diberi pakaian ganti.
Nihil menyuruhnya berganti pakaian di sebuah ruangan kosong yang ada di sudut ruang kerjanya. Alisha memakai semua pakaian yang diberikan padanya kecuali name tag – kalau ada yang datang memeriksa, justru akan aneh jika ia menemukan dua orang dengan name tag Nihil Rasendriya.
Ia menolak melepaskan jam tangannya.
“Tidak masalah, sih,” kata Nihil, untuk pertama kalinya terdengar santai. “Kami semua punya jam masing-masing, jadi kau tidak akan terlihat mencolok.”
“Kita tetap kembali ke satu minggu yang lalu?” tanya Alisha.
“Tergantung. Kau mau mencoba mengubah bagian mana?” Nihil balas bertanya. Ia mengernyit. “Di percobaan pertama tadi, apa tepatnya yang kau lakukan?”
“Aku langsung memberitahu Andini kalau dia ikut study tour besok dia akan mati.”
“Pantas saja dia tidak percaya padamu.”
Alisha mendecakkan lidah, tetapi Nihil tidak salah. “Aku bisa coba menghilangkan formulir persetujuannya,” usulnya setelah beberapa saat berpikir.
Nihil mengedikkan bahu. “Kalau itu terserahmu saja. Aku cuma ingin tahu apa yang akan terjadi kalau kita mencapai seratus persen.” Ia membuka jam sakunya. “Jadi, kita pergi ke mana?”
Andini mengumpulkan formulirnya cukup terlambat, meskipun tidak pada hari terakhir. Bukan di awal bulan, karena pada saat itu Andini masih bingung memutuskan ia ingin pergi atau tidak. Ia mengumpulkan formulir itu….
“Sembilan hari yang lalu,” kata Alisha setelah menghitung.
“Sembilan hari,” gumam Nihil. Ia mengatur jarum jamnya. Alisha menggenggam hem jubah pemuda itu, lalu mereka berdua lenyap dalam pusaran pasir.
***
“Din,” kata Alisha yang duduk terbalik di tempat duduk salah satu teman Andini, “kau sudah mengumpulkan formulir study tour?”
“Ih, Alisha kepo,” balas Andini jahil. Ia menggeleng. “Belum. Aku belum ketemu Pak Hardi tadi pagi. Nanti saja waktu istirahat kedua aku cari lagi.”
“Pak Hardi biasanya salat di istirahat kedua,” kata Alisha.
“Bagus, dong, berarti aku sempat jajan dulu. Setelah itu tinggal cari Pak Hardi di dekat musala,” sahut Andini.
Alisha refleks mengulurkan tangan untuk menjitak sahabatnya itu. “Jajan terus. Nanti pulang sekolah kau jajan lagi,” tegurnya.
Andini ketawa. “Ya, maaf! Aku gampang lapar!” balasnya dan, ah, Alisha kangen ini. Seratus persen itu harus ia penuhi.
Ketika para murid dipanggil ke lapangan untuk upacara dan Andini lebih dulu pergi bersama teman-teman sekelasnya, Alisha bertanya pada Nihil di sebelahnya, “Bisa tidak, kau percepat waktu ke jam istirahat kedua?”
“Bisa, tapi penggunaan yang remeh seperti itu tidak diperbolehkan,” jawab Nihil.
Alisha memutar mata. “Lalu kenapa kau memakainya untuk mengecek jadwal kecelakaan bus itu, kemarin? Bahkan sampai ada manusia yang ikut terbawa,” balasnya. Nihil mengkeret diingatkan pada kesalahannya. “Lagipula, bukannya yang kita lakukan ini toh sudah melanggar banyak aturan?”
Pemuda itu bersungut-sungut. “Memangnya kau tidak mau menghabiskan sedikit waktu lagi bersama temanmu?” Ia masih berusaha membujuk.
“Aku bisa menghabiskan waktu dengannya kapan saja kalau dia tidak jadi mati,” tandas Alisha.
Nihil mendesah panjang dan mengeluarkan jam sakunya. “Kenapa bukan kau saja yang mati, sih?” gerutunya.
“Mulutmu itu kasar sekali dengan perempuan.”
Nihil berhenti memutar jarum jam untuk memelototinya. “Kau berani bilang begitu? Kau? Yang sejak awal kerjaannya mencekik dan mengancam orang?” cemoohnya.
“Aku biasanya tidak begitu,” sahut Alisha kalem.
“Tsk.” Nihil tidak merespons lebih dari itu. Ia mengayunkan jam, dan sekeliling mereka berputar seperti kopi susu yang diaduk.
Bel tanda istirahat kedua berdering tepat ketika jam Nihil berhenti berayun. Saat ini, matahari sudah menggantung tinggi di langit, dan murid-murid di dalam kelas hanya terbagi menjadi empat spesies; spesies pergi ke musala, spesies pergi ke kantin, spesies kabur ke ruangan ber-AC, dan spesies tidur. Maka, tidak ada satu pasang mata pun yang memperhatikan ketika Alisha mendadak muncul di dalam kelas seperti hantu.
Ia beranjak ke tempat duduk Andini dan membuka ranselnya. Andini selalu menyimpan kertas seperti hasil ulangan dan formulir di saku depan, jadi Alisha tidak repot-repot mengecek bagian lain.
Pencarian itu tidak berlangsung lama. Tidak bisa disebut pencarian, malah, karena formulir itu telah diletakkan paling depan tanpa dilipat, sehingga nama Andini yang dicetak di bagian atasnya terbaca jelas begitu saku ransel dibuka. Alisha mengambil kertas itu dan segera memasukkannya ke dalam saku. Ia melihat ke seisi kelas, memastikan tidak ada mata yang melihatnya, lalu melompat keluar lewat jendela.
“Ada pintu di depan, ada aku yang bisa mempercepat waktu, kenapa harus lewat jendela?” tanya Nihil penasaran.
“Lewat sini lebih dekat ke wastafel,” sahut Alisha.
Begitu sampai di depan wastafel yang ada di sebelah kantin, Alisha membuka keran dan mengguyur kertas formulir Andini di bawah aliran air. Kertas itu menjadi layu dan berubah jadi serpih-serpih bubur kertas yang langsung hanyut ke lubang pembuangan. Alisha mematikan keran dan mengeringkan tangan.
“Sekarang aku akan memindahkan kita ke pagi besok,” Nihil memutuskan. “Jadi kita bisa langsung melihat hasilnya.”
Alisha tidak terlalu antusias untuk menyaksikan berita kecelakaan sial itu sekali lagi, tetapi ia mengangguk. Lebih cepat putaran ini selesai, lebih cepat ia bisa melihat hasil intervensinya kali ini.
Nihil memindahkan mereka beberapa belas jam ke masa depan, dimana Alisha dengan kecepatan tinggi melewati semua urutan kejadian pada hari itu – pulang ke rumah di bawah derai hujan, mengecek suhu badan dengan termometer, berganti pakaian, makan bubur dan minum teh, tidur, lalu bangun di pagi harinya.
Alisha menunggu Ibu keluar untuk mengobrol dengan tetangga sebelum memindah saluran TV. Ia setengah yakin apa yang dia lakukan di putaran kali ini tidak cukup besar untuk mengubah nasib Andini, jadi ia tidak benar-benar memperhatikan berita yang disiarkan. Ia sudah tahu.
Begitu mereka melihat rekaman video sebuah tangan dengan gelang yang familier, Nihil mengembalikan mereka ke ruang kerjanya.
TIMELINE CHANGE: 2%