Rewind, Until 100%

Aisya A. A.
Chapter #7

[Bab 7]

TIMELINE CHANGE: 25%


“Aku capek,” kata Alisha, begitu mereka sampai di ruang kerja Nihil. “Apa kita bisa berhenti sebentar?” 

Nihil mengernyit. “Dari awal, bukannya justru kau yang memaksaku ke mana-mana? Terserahmu saja kalau mau istirahat,” balasnya. “Tapi … kita baru mencapai seperempat, kau yakin mau istirahat sekarang?” 

Sudah seperempat,” Alisha mengoreksi dengan setengah hati. Bersikap optimis bukanlah kebiasaannya, sehingga kata-kata seperti itu tidak muncul dengan sendirinya dan harus dipaksa keluar. Nihil tidak salah, sebenarnya; mereka baru mencapai 25 persen setelah … oh, entah berapa putaran, Alisha tidak menghitung. 

Namun kedua tangannya tak mau berhenti gemetar sejak putaran terakhir, dan Alisha merasa seperti akan muntah kalau dia tidak duduk sebentar. 

“Apa kau punya wastafel?” tanyanya pada Nihil. 

“Apa aku terlihat seperti makhluk yang perlu wastafel?” Nihil balas bertanya. Parahnya lagi  nadanya tidak sinis. Ia kedengaran benar-benar bingung. “Kalau mau cuci muka, ada tisu basah di dalam laci meja.” 

“Makhluk sepertimu menyimpan tisu basah?” 

“Hei, tisunya bukan untuk wajahku, tapi untuk membersihkan barang-barang di sini.” 

Alisha menemukan sehelai tisu basah kering di dalam laci meja. Ia menjumput benda itu dengan ujung jari dan mengibaskannya di udara. “Ini? Ini sudah kering! Lagipula, kenapa kau cuma punya satu helai?!”

Nihil mengambil tisu itu dari tangan Alisha. Dalam pegangannya, tisu basah yang sudah kering itu berubah jadi seperti baru lagi. Diopernya tisu itu kembali pada Alisha. “Tuh.” 

“Kau memberiku tisu basah bekas mengelap barang?!” 

“Itu sudah kumundurkan waktunya, kok. Tisunya masih baru.” 

“Eugh.” 

Karena tak ada pilihan lain dan dia terlalu lelah untuk mendebat Nihil, Alisha akhirnya duduk di lantai dan mengusap wajahnya dengan tisu basah itu. Ia baru menyadari betapa kering matanya, padahal di putaran sebelumnya ia baru saja menangis. 

“Di sini ada air minum, tidak?” tanyanya lagi. 

“Mending kita sekalian kembali ke rumahmu biar kau bisa minum sepuasnya,” cerca Nihil. Ia memutar jam, menjumput ujung jubah Alisha, lalu mengayunkan jamnya. Ketika pasir yang mengelilingi mereka lenyap, Alisha tengah duduk di lantai ruang tengahnya. Pemandangan di luar jendela gelap gulita. Jam menunjukkan pukul satu pagi. 

Ia berdiri dan berjalan lurus ke dispenser air di sebelah TV. Setiap kali pandangannya jatuh ke layar TV yang balik memantulkan wajahnya padanya, yang terbayang hanyalah potongan berita dengan tangan Andini yang terkulai lemas di bawah badan bus. 

Air galon memenuhi gelas di tangan Alisha dengan cepat. Ia telat menutup keran dan air itu tumpah ke tangannya. 

Alisha melepaskan potongan besi berat yang diangkatnya. Benda itu jatuh ke tanah dengan bunyi keras, hanya meleset beberapa belas senti dari kaki Andini. Kedua tangan Alisha basah kuyup sampai ke lengan. Abaikan. Bawa Andini ke tempat aman. Abaikan. Hanya ada bau darah dan asap di sekeliling mereka. Abaikan, abaikan, abaikan. 

Abaikan darah Andini, yang pada akhirnya membanjiri mereka berdua. 

Namun Alisha tidak bisa mengabaikannya. Ia perlu menolong Andini. Ia perlu membebat kaki Andini. Ia perlu–

“Sebenarnya buat apa sih kita ke sini kalau kau tidak minum-minum juga?” Misuh-misuh Nihil membuat Alisha tersentak kaget. Sedikit air tumpah lagi dari gelasnya, tetapi kali ini hanya menciprat ke lantai. 

“Aku tidak minta dibawa ke sini,” balas Alisha, tetapi suaranya tak sepedas biasanya, sebagian besar fokusnya masih terarah pada tumpahan air di tangan. 

“Ya makanya cepat minum. Kalau kita bisa sampai ke 50 persen dengan putaran sebanyak tadi, aku tidak perlu lama-lama lagi terjebak denganmu.” 

“Aku baru melihat temanku mati kehabisan darah karena kakinya putus karena takdir kecelakaan tololmu itu,” kata Alisha tajam. “Kalau kau tidak punya topik yang lebih penting, jangan ngomong sekalian.” 

Nihil memutari sofa dan duduk dengan hati-hati seakan benda itu bisa meledak sebelum menyahut, “Reaksimu sedikit berlebihan. Aku kan bisa mengulang waktunya lagi.” 

Alisha memaksakan diri untuk menelan tegukan airnya. “Kau tidak mengerti,” desisnya. “Aku tahu kau bisa mengulang waktunya, aku tahu Andini akan hidup lagi di putaran selanjutnya.” 

“Terus?” 

“Apa kau pernah merasakan detak jantung orang yang kau sayangi berhenti saat kau berbaring di sampingnya, dengan darahnya di seluruh tubuhmu?” 

Nihil mengerjap. “Tidak pernah, sih.” 

“Jangan komentar, kalau begitu,” tandas Alisha. “Itu bukan sesuatu yang bisa dilupakan hanya karena aku tahu kita bisa mengulang lagi.” 

“Huh.” Nihil menumpukan wajah di tangan, matanya sedikit menerawang. “Aku boleh tanya?” 

“Tidak.” 

“Kenapa kau gigih sekali ingin menyelamatkan temanmu ini?” Nihil tetap bertanya. 

“Apa maksudnya ‘kenapa’?” balas Alisha dengan kening berkerut. 

“Yah, maksudku, aku sendiri baru setuju melakukan ini setelah tahu kalau ada sistem yang bisa mengubah takdir – atau setidaknya, umur manusia,” jawab Nihil, “tapi kau dari awal sudah memaksaku pergi, bahkan sebelum kau tahu kau bisa menyelamatkan temanmu ini. Kenapa?”

“Karena dia sahabatku,” kata Alisha. Jawaban paling mudah yang bisa ia berikan. 

“Berarti kalau dia bukan temanmu, kau tidak akan terpikir untuk mencoba menyelamatkannya?” tanya Nihil lagi. 

Alisha mendengus. “Memangnya kau melihatku mencoba menyelamatkan orang lain selain Andini?” 

“Jadi kau tidak menyelamatkannya karena moral?” 

Alisha tertegun sejenak. “... Kurasa tidak.” 

“Kau rasa, ya…,” Nihil membeo. “Apa kau tidak sayang dengan teman-temanmu yang lain?” 

“Aku suka-suka saja pada mereka, tapi–” Alisha memotong kalimatnya sendiri dan menuding wajah Nihil. “Kenapa kau tiba-tiba penasaran dengan moralku, heh? Apa maumu?” 

Nihil cemberut dituding seperti itu. “Aku cuma ingin tahu,” protesnya. “Karena aku lihat banyak manusia yang berhasil menunda kematian manusia lain yang tidak mereka kenal, hanya karena bantuan yang mereka berikan dilakukan tanpa pamrih. Jadi waktu melihatmu, aku penasaran.” 

Lihat selengkapnya