Rewind, Until 100%

Aisya A. A.
Chapter #8

[Bab 8] WARNING: SUICIDE ATTEMPTS

Alisha menatap matahari terbit dari jendelanya, beberapa jam sebelum teman-teman satu sekolahnya akan berangkat study tour. 

Awalnya ia berniat menunggu sampai rasa takut yang berdenyut bersama darahnya berkurang, tetapi akhirnya memutuskan bahwa jika ia menunggu sampai rasa takutnya hilang, rencana ini tidak akan jalan-jalan.

“Kau yakin mau melakukan ini?” tanya Nihil sambil melilitkan rantai jam sakunya di sekeliling jari jemarinya, membuka lilitan itu, lalu melilitkannya lagi berulang-ulang. “Kau lihat sendiri kan, bagaimana intervensi bisa mengubah waktu kematian manusia? Kalau ini benar-benar membunuhmu, bagaimana?” 

Alisha menatap kumpulan benda kecil di telapak tangannya. “Yah, artinya ya sudah. Kau bebas dari rongronganku, kan?” balasnya simpel. “Aku malah lebih khawatir kalau aku selamat. Aku bakal kena masalah dari Ibu dan Ayah, sekolah, belum lagi keluarga besar.” 

“Mungkin masih ada cara lain–”

Tangan Alisha membekap mulut Nihil dengan keras, tatapannya tajam. “Jangan coba-coba,” desisnya. “Meyakinkan diriku sendiri untuk melakukan ini saja sudah sulit. Kalau kau bicara seperti itu, aku akan ragu-ragu lagi.” 

Nihil menyipitkan mata, tetapi mengangguk. Ketika Alisha melepaskan wajahnya, ia tidak berusaha mengatakan apa-apa lagi kecuali, “Silahkan, kalau begitu.” 

Alisha menarik napas panjang, lalu menangkupkan tangannya ke mulut. Lima tablet Ibuprofen ia telan, disusul segelas penuh air ketika ia sulit menelan semuanya. Alisha mengambil sisa lima Ibuprofen di atas nakas dan menelan itu juga. 

Jantungnya berdebar kencang. 

Terlalu banyak mengkonsumsi obat nyeri yang mengandung ibuprofen dapat menyebabkan overdosis atau keracunan. Gejala: dengung pada telinga, penglihatan kabur, diare, sakit perut, mual, muntah, sakit kepala, koma, mengantuk, kejang. 

Telinganya mulai berdengung. Awalnya samar, lalu menyakitkan. Alisha terkesiap dan mendorong dirinya sampai jatuh dari tempat tidur. Bunyi jatuhnya nyaring. Bahunya ngilu dan pelipisnya terbentur kaki nakas. 

Penglihatannya mengabur, meskipun pada titik itu, di sela-sela sensasi seperti kepalanya sedang dihantam dengan palu, Alisha tidak tahu apakah pandangannya kabur karena overdosis atau karena air matanya yang merebak. 

Ia membuka mulut. “Ibu!” teriaknya. Sedetik setelah itu, isi perutnya naik ke tenggorokan. 

“Lisha, kamu kenapa?” Pintu dibuka. “Lisha!” 

Perawatan: segera bawa ke dokter untuk segera mendapatkan perawatan medis. Sumber: pencarian internet selama lima menit. Kata kunci: ‘apakah bisa overdosis Ibuprofen?’.

***

Alisha membuka mata, lalu langung menutupnya lagi. Cahaya lampu di atas kepalanya telah diarahkan lurus ke wajahnya, sehingga bangun dari pingsan rasanya justru seperti disambut di pintu surga. 

… Mungkin terlalu narsis baginya untuk mengira dia akan masuk surga sama sekali. 

“Nihil?” panggilnya, suaranya serak, tipis, dan nyaris tak terdengar. Untungnya, Nihil tidak terbelenggu kekurangan fisik manusia – ia bisa mendengar jelas panggilan Alisha dan muncul di sebelah tempat tidurnya. 

“Jadi?” 

Nihil menggeleng. “Telat. Mereka sudah keburu pergi. Waktu guru pendamping mereka dapat kabar, mereka sudah hampir putar balik. Busnya ditabrak truk peti kemas.” 

Alisha memejamkan matanya lagi. 

“Bangsat,” makinya. “Kita ulang lagi.” 

“Mm.” 


TIMELINE CHANGE: 30%

***

Alisha naik ke lantai tiga gedung sekolah sambil menggigil, bahkan setelah memakai baju tiga lapis. Nihil melayang di sebelahnya tanpa simpati sedikit pun. 

“Menurutku rencana yang ini sedikit berlebihan,” komentar Nihil. 

“Menurutku, kau terlalu banyak komentar,” balas Alisha. “Yang penting kan persentasenya naik. Siapa peduli aku harus berbuat apa?” 

“Andini?” 

“Andini tidak berhak bilang apa-apa, ini semua kan untuk menyelamatkannya.” 

“Tapi dia tidak minta.” 

Alisha menghembuskan napas kasar dan menusuk dada Nihil dengan jari telunjuk. “Kau ini sebenarnya mau apa, sih? Kalau kau tidak peduli pada Andini, terserah, tapi kan kau sendiri yang mau mendata tentang persentase itu. Jadi kalau kau tidak punya kata-kata yang lebih bagus, mendingan kau tutup mulut.” 

“Aku cuma bilang,” kata Nihil. “Mungkin usahamu ini agak berlebihan. Ada banyak cara lain untuk menambah persentasenya.” 

“Semakin drastis perubahannya, semakin tinggi penambahan persentasenya, kan?” tantang Alisha. “Lebih cepat kita menyelesaikan semua ini, lebih baik.”

“Mmh.” 

Alisha menunggu di pagar pembatas lantai tiga sampai para murid datang dan bergerombol di lapangan. Ia dengan sengaja memakai baju yang sewarna dengan cat dinding sekolah, sehingga kalaupun ada yang melihat ke atas, sosoknya tidak akan terlihat jelas. 

Matanya seketika menangkap sosok Andini yang berlari-lari kecil masuk ke area sekolah. Ia terus mengikuti sahabatnya itu sampai akhirnya Andini berkumpul dengan teman sekelasnya. Setelah itu giliran para guru yang datang dan langsung sibuk mengatur absensi murid serta transportasi. 

“Semuanya berkumpul dan berbaris sesuai kelasnya masing-masing!” teriak Pak Bustami, suaranya menggema lewat pengeras suara. Dari atas, pemandangan murid-murid yang bergerombol terlihat seperti semut. 

Alisha menarik napas panjang. Sekadar untuk mengulur waktu beberapa detik, ia menyibukkan diri melepas jam tangannya. Hadiah dari Andini itu ia masukkan ke dalam saku. Lututnya lemas, tetapi tidak apa. Ia tidak butuh lutut yang kuat untuk melakukan ini. 

“Aku tidak akan mati, kan?” tanya Alisha. Di dalam kepalanya, pertanyaan itu terdengar praktis; jika dia mati sekarang, semuanya akan gagal. Begitu terlontar dari mulutnya, pertanyaan itu terdengar penuh ketakutan. 

“Kalau nyawamu sudah di ujung, aku akan langsung mengembalikanmu ke ruang kerja,” jawab Nihil. 

Alisha mengangguk. Ia mendongak ke langit-langit selasar supaya tidak perlu melihat ke bawah. “Kemungkinan besar aku akan langsung mati begitu mendarat.” 

“Tidak masalah. Satu detik pun bisa kuperpanjang.” 

“Oke.” 

Lalu Alisha menghela dirinya melewati dinding pembatas. 

Sewaktu dirinya masih sangat kecil, Alisha menonton sebuah film kartun yang terinspirasi dari mitologi Yunani tentang Icarus, si pemuda bersayap yang terbang terlalu dekat ke matahari. Ada pesan moral penting yang bisa ditarik dari cerita itu, tentu saja, tetapi Alisha kecil hanya peduli pada satu hal – Icarus bisa terbang. Dia jatuh sih, setelah itu, tapi dia bisa terbang! Maka selama beberapa bulan setelah menonton film itu, Alisha kecil terobsesi dengan keinginan untuk terbang juga. Obsesi itu lenyap dengan sendirinya ketika ia terpeleset kala mencoba memanjat sebuah pohon mangga dan jatuh ke tanah becek. 

Sekarang, terbersit di pikiran Alisha bahwa inilah yang dirasakan Icarus di detik-detik terakhirnya di udara. Kehampaan total. Tubuh yang ringan, seakan kerangka dan organ-organnya lenyap, meninggalkan hanya ruh. 

Lalu kesadaran menyusul, diiringi deru angin dan tarikan gravitasi. Ada yang menjerit, tetapi bukan Alisha. 

BRAK!

Alisha sudah tak sadarkan diri sebelum ia mampu merasakan luka-lukanya. Ketika ia membuka mata, dirinya sudah ada di ruang kerja Nihil. Si pemilik ruang tengah berjongkok di sebelahnya dengan ekspresi tak terbaca. 

“Jantungmu masih berdetak waktu pihak sekolah memanggil ambulans,” ucapnya sebelum Alisha sempat bertanya. “Temanmu memaksa ikut ke dalam ambulans. Kalian ditabrak di turunan jembatan tol.”

“Ah,” kata Alisha. Ia bangkit ke posisi duduk. Matanya menangkap tulisan yang melayang di udara. 


TIMELINE CHANGE: 35%


“Kau mau tahu apa yang lucu?” tanya Nihil, meskipun tak ada kegelian sama sekali dalam suaranya. 

“Apa?” tanya Alisha yang hanya setengah memperhatikan. Otaknya sudah mulai berputar mencari cara lain untuk mengubah putaran selanjutnya. 

“Dari semua orang yang ada di dalam ambulans, hanya temanmu yang mati waktu kalian kena tabrak,” kata Nihil. “Jam milik para EMT, supir ambulans, bahkan milikmu masih terus berjalan – retak sedikit, tapi masih jalan. Jam temanmu hanya meleset tujuh menit.” 

“Tidak lucu,” komentar Alisha singkat. Kemudian keningnya berkerut. “Tunggu, kalau jam Andini tidak bisa berubah banyak, bagaimana dengan yang lainnya? Mereka juga tetap mati?” 

“Aku tidak tinggal di sana sampai mereka semua terbukti meninggal – kau sudah sekarat – tapi study tour ditunda setelah ambulans pergi dan semua murid dipulangkan dengan bus yang disewa sekolahmu. Tebak apa yang terjadi.” 

“Kecelakaan,” gumam Alisha. Ia berdiri dan mengibaskan debu dari belakang jubahnya. “Aku punya ide baru. Ayo, kita ke putaran selanjutnya.” 

“Mmh, ide bunuh diri lagi?” tanya Nihil. 

Lihat selengkapnya