Alisha memegangi kepalanya setelah ia dan Nihil kembali ke ruang kerja dari putaran terbaru mereka. Setelah beberapa saat denyut nyeri itu tidak hilang, Alisha mencoba mengetuk-ngetuk kepalanya dengan keras.
“Kau kenapa?” tanya Nihil.
“Punya mata tuh, dipakai. Kelihatannya aku kenapa?” Alisha mencecar. “Kepalaku pusing.”
Nihil mendecakkan lidah dengan mencela. “Kalian manusia itu rapuh sekali,” komentarnya.
“Sini kucekik kau, lalu ulangi kalimatmu itu,” geram Alisha. Nihil, seperti biasa, beringsut menjauh begitu diancam. “Ha! Makhluk sepertimu kok cemen?”
“Bukan cemen, hanya berjaga-jaga.”
“Puh.”
Alisha melirik tulisan yang melayang di udara.
TIMELINE CHANGE: 57%
“Ayo, kita lanjut lagi,” ajaknya.
***
TIMELINE CHANGE: 62%
Alisha menekankan pangkal telapak tangannya ke mata. Pelipisnya berdenyut samar tetapi tak beraturan. “Augh.”
“Kita istirahat dulu, deh,” kata Nihil. “Aku tidak mau melihatmu memaksa diri sampai seperti sebelumnya. Bikin kacau saja.”
Adalah sebuah bukti betapa mengganggunya sakit kepala itu ketika Alisha tidak berusaha memprotes keputusan Nihil dan malah merosot sehingga ia duduk di lantai.
“Mungkin kita pindah waktu terlalu cepat, jadi pikiran manusiamu tidak cukup cepat untuk memproses semuanya.”
“Hngh.”
Nihil mengerutkan kening mendengar respons yang bukan bentakan atau ancaman itu. “Apa Ibuprofen bisa membantu?”
“Kalau kau mendekatkan Ibuprofen padaku, akan kucakar matamu sampai tercabut,” gerutu Alisha. “Biarkan saja. Paling sebentar lagi juga hilang.”
Nihil mengangkat bahu, tak begitu mempermasalahkan. Terkadang, karena ia selalu terlihat takut dan menurut pada Alisha, Alisha lupa bahwa pemuda itu bukan manusia. Bahkan ia kemungkinan besar bukan seorang pemuda. Entah apakah makhluk sepertinya punya umur atau tidak. Intinya, momen-momen di mana Nihil bereaksi tanpa empati – heck, tanpa simpati, malah – sedikit mengejutkan Alisha dari waktu ke waktu.
Setelah beberapa saat, denyut di kepalanya mereda, meski tidak sepenuhnya hilang. Alisha mendorong dirinya berdiri dari lantai dan menggamit Nihil.
“Ayo,” ucapnya, pandangan terarah ke angka 62 besar di udara. “Tinggal sedikit lagi.”
Tinggal sedikit lagi.
***
Alisha menyipitkan mata dengan kening berkerut dalam. Setengah bagian tubuhnya bersimbah darah Andini dan ia sedang terbaring di tanah jurang.
Ia tak bergerak dari posisi itu bahkan setelah Nihil mengembalikan mereka ke ruang kerjanya. Ia merasakan serpihan darah kerih lenyap dari kulit lengan dan bawah kukunya, serta menghilangnya darah basah yang menodai seluruh pakaiannya merah.
Ia tetap tak bergerak, justru memejamkan mata disilaukan interior ruang kerja yang serba putih.
“Hei, bangun. Apa lukamu ada yang tidak hilang?” tegur Nihil.
“Ugh,” gumam Alisha sebagai balasan. Ia mendorong tubuh dengan kedua siku dan bangkit ke posisi duduk dengan lambat. “Kepalaku sepertinya terbentur saat jatuh dari bus.”
Nihil mengernyit dan berjongkok, lalu meraba belakang kepala Alisha. Ia lalu menarik tangannya dengan wajah heran. “Tidak ada tanda-tanda cidera di kepalamu. Lagipula, semua lukamu seharusnya hilang begitu kau sampai di sini.”
Alisha menekan pelipisnya dengan jari. “Urgh….”
“Sakitnya separah apa?” tanya Nihil. Ia sudah tidak memperhatikan Alisha dan beralih merogoh ke dalam jubahnya untuk mencari buku saku.
“Entah, seperti sakit kepala saat demam,” sahut Alisha setengah hati. “Tidak parah, tapi mengganggu.”
“Hmm.” Nihil terlihat sedikit cemas. Ia terus membolak-balikkan dua halaman tertentu sebelum menutup bukunya dan mendecakkan lidah pelan. “Kalau sakitnya bertambah parah, kabari aku. Aku tidak tahu apakah ada efek samping yang berbahaya bagi manusia dari berpindah-pindah waktu sebanyak yang kau lakukan.”
Alisha melotot ke arahnya. “Apa pun yang terjadi, aku tidak akan berhenti.”
“Setidaknya kita bisa membuat rencana yang lebih hati-hati,” sahut Nihil. “Kalau kau mati duluan, temanmu takkan bisa selamat sama sekali.”
Alisha melirik ke arah tulisan persentase.
TIMELINE CHANGE: 69%