“Menurut Lisha, siapa cowok paling ganteng di sekolah?”
Alisha mencemooh. “Tidak ada yang ganteng,” pungkasnya sambil menyeringai.
“Iih! Aku serius tanya, lho!”
“Memangnya kenapa? Kalau aku bilang Feri, kau mau cemburu?”
Wajah Andini memerah. Ia menampar bahu Alisha. “Mana ada, ya! Aku cuma penasaran, kok! Soalnya Lisha kan tidak pernah ngomong apa-apa tentang cowok….”
Alisha mengedikkan bahu. “Tidak pernah kepikiran saja, sih. Tapi, kalau cuma ganteng, ya si waketos tuh. Namanya aku lupa.”
Andini merengut. “Kalau Harun sih, gantengnya objektif.”
“Justru itu.”
“Tidak dibuang?”
Alisha mengerjap, perhatiannya pada layar di genggamannya buyar mendengar pertanyaan Nihil. Ia menatap layar itu sekali lagi, sekadar gestur untuk berpamitan, lalu berkata, “Dibuang. Yang ini tidak terlalu penting.”
Ia menyerahkan layar itu pada Nihil, yang menekan permukaannya dengan sangat keras sehingga layar itu retak, lalu pecah jadi seribu bagian. Seketika, Alisha tidak ingat lagi memori apa yang tadinya tersimpan di layar itu.
Di sebelahnya, Nihil mengambil layar yang lain dan memecahkannya. Ia sudah bersumpah hanya akan mengambil inisiatif dengan layar-layar yang memang sudah rusak, sehingga Alisha tidak begitu khawatir melihat pemuda itu dengan seenaknya menghancurkan memorinya.
“Ingat, jangan membuang yang terlalu besar, meskipun kau menganggapnya tidak penting,” kata Nihil. “Bisa gawat kalau kau lupa pernikahan orang tuamu atau semacamnya.”
“Kau tidak perlu mengingatkanku sampai seratus kali, aku tahu,” Alisha menggerundel, tetapi ia memperlambat geraknya menyisir layar-layar di hadapannya. Matanya menangkap satu layar yang berukuran lebih kecil dan beranjak untuk mengambilnya.
“Hewan kesukaan Alisha apa?” tanya Ibu suatu saat.
Alisha, yang saat itu masih berumur tujuh tahun, mengerjap lambat seperti anak kucing. “Entah,” jawabnya pada akhirnya.
“Masa tidak punya?” tanya Ibu lagi, sedikit jahil.
Alisha kecil memajukan bibir dan menggeleng. “Entah,” ia mengulangi, lalu beranjak ke dapur.
Di dapur ada piring hias dengan motif serangga yang digantung di atas wastafel. Ketika Alisha kecil tengah berjinjit untuk mengambil kaleng biskuit dari meja kompor, tatapannya jatuh pada piring itu.
Ada banyak serangga di sana; capung, laba-laba, semut, lebah, dan kupu-kupu. Maka dengan akal pendek dan plin-plan khas anak berumur tujuh, Alisha kecil berlari-lari menghampiri Ibu.
“Lisha suka kupu-kupu!” ucapnya.
Keesokan harinya, di hari ulang tahunnya, ada sebuah boneka kupu-kupu di atas tempat tidurnya.
Alisha mengembalikan layar itu kembali ke tempatnya dan mengambil yang lain secara acak. Terkadang ia menyerahkan satu di antara sepuluh kepada Nihil untuk dihancurkan. Setiap kali ia mengembalikan sebuah layar ke tempatnya, tatapan Nihil yang penuh penghakiman seakan berubah menjadi tohokan di kepala.
Alisha tidak menyalahkan pemuda itu. Ia sendiri tidak tahu dirinya ternyata bisa menjadi orang yang sentimental, dihadapkan dengan setiap momen dalam hidupnya seperti ini.
Setelah mengoper satu layar lagi pada Nihil, Alisha angkat suara, “Segitu sudah cukup?”
Kepalanya terasa ringan. Janggal. Atau– tidak, sebenarnya kepalanya tidak terasa berbeda dari biasa, mengesampingkan rasa sakit yang akhirnya hilang. Namun melihat tempat-tempat kosong bekas ingatannya yang dihapus membuat Alisha merasa seakan isi kepalanya juga berlubang-lubang.
“Mmh.” Nihil membuka dan menutup jarinya dengan kening berkerut. Menghitung. Lagi-lagi Alisha bertanya-tanya seberapa manusiawi sebenarnya kaum Nihil – tidak bisa bersimpati, tetapi masih memakai jari saat menghitung. “Aku tidak bisa menghitung jumlah pastinya, tapi menurut perkiraanku kita perlu menghapus beberapa lagi supaya kau tidak kena kompromi sebelum seratus persen.”
Bibir Alisha menipis selagi ia menatap layar yang belum dipecahkan di tangan Nihil. Mereka sudah mengeliminasi semua layar rusak dan sebagian besar layar ukuran kecil. Ada rasa menekan di dalam dadanya ketika membayangkan harus menghapus layar-layar yang lebih besar.
“Tidak bisakah kita lanjut saja sekarang, lalu nanti kembali ke sini kalau memoriku sudah kepenuhan lagi?” tanyanya.
Nihil menggumam pelan, berpikir. “Bisa, sih, cuma lebih repot.”
“Tidak masalah,” kata Alisha. Ia melirik layar yang mempertontonkan pertemuan pertamanya dengan Andini. “Kita bisa hapus memori yang nanti masuk.”
“Benar juga. Ayo, kalau begitu.”
***
“Eeh, jadi kau tidak ikut study tour?”
Alisha mengedikkan bahu. “Aku sedang tidak minat melewati jalur maut dengan alat transportasi berat yang gampang oleng,” ucapnya.
Andini cemberut. “Yah, kalau pikiranmu begitu, kau tidak akan bisa pergi ke mana-mana,” komentarnya. “Lagipula, jalur itu kan kemarin juga dipakai anak-anak SMA Pelita Negeri buat kunjungan sejarah. Mereka aman-aman saja, kok.”
Alisha mendengus dan mendorong mangkuk baksonya menjauh. Semenjak beberapa belas putaran yang lalu, ia kehilangan selera makan. Kemungkinan besar karena ia melihat terlalu banyak pemandangan mengerikan tanpa diberi jeda.
“Hei, aku tahu kau punya hadiah untuk ulang tahunku hari ini,” ujarnya setelah beberapa saat.
Andini tersentak. “Eh? Ah, ya, maksudku, tentu saja kau tahu! Ini kan memang ulang tahunmu. Justru aneh kalau aku tidak membawa hadiah, kan? Haha….”
Alisha tertawa kecil melihat wajah kesal Andini yang diarahkan sahabatnya itu pada dirinya sendiri.
“Aku tahu apa hadiahnya,” ucapnya.
Andini memutar mata sambil bersungut-sungut. “Ah, masa? Coba tebak.”
Alisha melingkarkan jari jemarinya di pergelangan tangannya sendiri, memeragakan. “Jam tangan dengan gelang. Warnanya emas dan hitam. Ada motif kupu-kupunya,” ia berkata, sementara Andini tertegun di seberang meja. “Kau membawanya dalam tas kertas warna putih dengan motif polkadot. Namaku ditulis dengan tinta spidol warna emas.”
Andini berdiri dan menuding wajah Alisha, untungnya terlihat lebih kaget daripada kesal. “Kau sudah lihat, ya? Pasti kau mengintip ke kelasku, kan?” serunya.
“Memangnya aku kurang kerjaan?” tanya Alisha sambil menumpukan pipi di kepalan tangannya. “Aku tahu saja.”
“Memangnya kau cenayang?”