Rewind, Until 100%

Aisya A. A.
Chapter #11

[Bab 11: Interlude II]

Akhir-akhir ini, Alisha sering melupakan hal-hal yang biasanya ia ingat. Atau, hmm, mungkin bukan lupa, tetapi sahabatnya itu jadi sering mengubah pendapat atau ketertarikannya pada satu hal ke hal lain, padahal biasanya Alisha suka punya pendapat dan kesukaan yang tidak berubah-ubah. 

Atau mungkin Andini hanya terlalu dalam berasumsi. Namun apa dia salah berpikir seperti itu kalau tiba-tiba melihat sahabat baiknya, yang selama tiga tahun SMA tidak pernah memesan makanan lain selain bakso di kantin mendadak memesan nasi goreng? Atau, alih-alih memesan es milo seperti biasa, ia justru memesan es teh? 

Biar Andini menekankan sekali lagi. Alisha tidak pernah memesan makanan lain selain bakso dan es milo selama tiga tahun. TIGA. TAHUN. Kalian bisa mengerti kenapa dia merasa sedikit terguncang. 

Sekarang Alisha tengah mengamati semua pin dan gantungan kunci yang menghiasi ranselnya dengan ekspresi seorang ayah yang menonton kartun favorit anaknya – sedikit tertarik, tetapi sebagian besar hanya terlihat bingung. 

Alisha mengangkat salah satu gantungan kunci dan menyipitkan mata, lalu menoleh ke arah Andini. “Yang ini dari anime mana, ya?” tanyanya. 

Andini berhasil menahan diri sebelum tangannya terayun dan menggeplak belakang kepala Alisha. Ia tersenyum, meskipun yakin wajahnya terlihat benar-benar khawatir alih-alih ramah. 

“Ah, aku kurang tahu? Kan Lisha yang nonton?” ujarnya pelan-pelan. 

“Aku ingat yang lain,” kata Alisha, pandangannya menyapu karakter-karakter lain yang terpajang di ranselnya. “Tapi yang ini aku lupa.” 

“Mungkin Lisha beli gantungannya bukan karena pernah nonton? Mungkin Lisha cuma suka desainnya,” Andini mengusulkan. 

Alisha mengedikkan bahu dan akhirnya membiarkan gantungan kunci itu kembali menghias ranselnya dengan damai. “Mungkin,” sahutnya. 

Lalu Alisha tiba-tiba membahas study tour dan kalimat yang keluar dari mulutnya begitu mengejutkan sehingga semua renungan tentang segala hal yang dilupakan Alisha lenyap seketika dari pikiran Andini. 

***

Akhir-akhir ini, Alisha sering melupakan hal-hal yang biasanya ia ingat. 

“Jadi, pokoknya Papa marah sekali sama Haha,” kata Andini. “Untungnya sih Papa kalau marah tidak pernah sampai parah, tapi kasihan juga aku melihat Haha diomeli begitu.” 

Alisha mengerjap. “Haha?” tanyanya. 

“Iya. Kau dengar tidak sih, dari tadi aku cerita?” tanya Andini sambil merengut dan menotok bahu Alisha dengan telunjuk secara main-main. “Haha tidak sengaja menyenggol cangkir kopi Papa sampai pecah.” 

Alisha menyipitkan mata, tetapi ekspresinya tidak penuh penghakiman seperti wajah sehari-harinya – ia justru terlihat bingung. “Haha itu … peliharaanmu?” tanyanya ragu-ragu. 

Giliran Andini yang tertegun. “Iya– Lisha, kau lupa?” 

Kening Alisha berkerut dalam, kedua matanya mengerling ke sana kemari seakan berusaha keras untuk mengingat. Kemudian matanya melebar dan ia menghindari tatapan Andini. “Iya. Kayaknya.” 

“Iih, kok bisa? Aku kan sering cerita tentang dia! Kau juga sudah pernah lihat fotonya, kok!” seru Andini. Dia tidak terlalu ambil hati, sebenarnya, ia hanya … heran. Bukan kebiasaan Alisha untuk cepat lupa sesuatu. Sahabatnya itu mampu mengingat bahkan nama karakter sampingan di puluhan anime yang ditontonnya – tentunya agak mustahil dia bisa melupakan kucing peliharaan Andini? 

Bahkan setelah ia memperlihatkan foto Haha di HP-nya pada Alisha, sahabatnya itu tidak terlihat mengenali atau mengingat si kucing. Ia hanya berkomentar, “Ah, mukanya lucu, gepeng.”

“Waktu aku pertama kali menunjukkan Haha padamu dulu, komentarmu sama, lho,” kata Andini sambil tertawa. Ya sudahlah. Kalau Alisha benar-benar tidak ingat, tidak apa-apa. Bukan masalah besar, meskipun Andini merasa sedikit – hanya sedikit! – tersakiti karenanya. 

Namun tiba-tiba Alisha mengangkat topik study tour dan terlihat sangat aneh dalam pembahasan itu sehingga Andini sejenak melupakan persoalan sebelumnya. 

***

Akhir-akhir ini, Alisha sering melupakan hal-hal yang biasanya ia ingat. 

Andini menyaksikan sahabatnya itu menepuk-nepuk saku jaket dan celana dengan kening berkerut dalam seakan tak dapat menemukan hal yang dicarinya. 

“Kau mencari apa?” tanya Andini setelah kejadian itu berlangsung selama beberapa menit, ditambah menit tambahan dimana Alisha hanya memandang ke kejauhan dengan kening yang berkerut lebih dalam lagi – duh, lama-lama dia bisa keriput kalau begitu terus – seperti sedang berusaha mengingat sesuatu yang terlalu jauh untuk diingat. 

“HP,” kata Alisha. “HP-ku tidak ada di saku.” 

Andini mengerjap. Ia membuka mulut, menutupnya lagi, lalu mengerjap sekali lagi sebelum akhirnya berkata, “Bukannya kau selalu menyimpan HP di tasmu, ya?” 

Alis sahabatnya terangkat sebelah mendengar hal ini. “Bukannya malah bahaya, ya, kalau kusimpan di dalam tas? Apalagi kalau aku kelasmu, kan aku tidak bisa mengawasi. Kalau ada yang mencuri, bagaimana?”

Andini nyaris ternganga. “Sejak kapan kau mencemaskan itu? Kau kan selalu menindih HP-mu di bawah semua buku yang kau bawa,” sahutnya. 

“Oh.” Mata Alisha melebar sedikit. “Iya, ya.” 

“Kau … kau sehat, kan?” tanya Andini. Ia tak bisa menahan diri untuk menempelkan tangannya ke kening Alisha. Suhunya biasa-biasa saja. Apa mungkin sahabatnya itu kesurupan? 

Alisha menjauhkan tangan Andini dari keningnya, tetapi alih-alih menepis seperti biasa, ia justru melingkari pergelangan tangan Andini, jari jemarinya seperti gelang hidup. Ia terdiam sejenak, menatap tangan Andini dalam genggamannya seperti seorang petani menatap sapi yang sedang diculik UFO.

Lalu mata Alisha mengerling ke arahnya dan ia bertanya, “Kau masih yakin mau ikut study tour?” 

Lihat selengkapnya