Rewind, Until 100%

Aisya A. A.
Chapter #12

[Bab 12]

“Ada satu hal yang tidak aku mengerti,” kata Nihil ketika Alisha telah ia kembalikan ke ruang kerja. 

Alisha mendengus. “Kayaknya kau sudah pernah bilang begitu sebelumnya. Beberapa kali. Kenapa, ya? Apa perbuatanku sebagai manusia terlalu membingungkan buatmu?” cemoohnya. 

Nihil tersenyum masam, tetapi ia mengedikkan kepala. “Lumayan,” sahutnya. “Kenapa kau tidak lagi berbuat aneh-aneh?” 

Mata Alisha berkilat tajam. “Maksud?

“Kau menciptakan beberapa putaran dimana kau mati bunuh diri, tapi akhir-akhir ini kau hanya selalu mengulang ke hari yang sama dan membuat perubahan yang sama dengan sedikit variasi,” kata Nihil. “Kau sengaja, bukannya tidak punya ide lain. Kenapa?” 

Alisha menatap pemuda itu jengah. “Mungkin aku capek bunuh diri atau membunuh orang karena tidak sengaja, bagaimana?” 

“Mungkin,” Nihil mengiyakan, tetapi ekspresinya masih penasaran. Alisha memutar mata dan mengabaikannya, akhirnya mengalihkan pandangan ke persentase di udara. 


TIMELINE CHANGE: 90%


Semangatnya seketika melonjak, kekesalannya pada Nihil terlupakan. “Hei, kita sudah sampai 92 persen! Kira-kira empat putaran lagi, bisa tidak ya?” serunya. 

“Kalau kau berhenti mengajak temanmu ngobrol dengan gaya seperti anak emo, bisa-bisa saja,” balas Nihil. 

“Ah, diam kau,” kata Alisha, tetapi memaksakan nada marah pun ia tak mampu. Suaranya tetap terdengar riang, sehingga ancamannya jadi sekosong galon bekas. Nihil bahkan tidak terlihat sedikit pun terintimidasi. “Kalau aku bunuh diri lagi, apa persentasenya bisa naik lebih cepat, ya?” 

“Oh, kau tidak boleh bunuh diri lagi. Cukup satu kali aku harus mengurus manusia yang sedang breakdown,” Nihil cepat-cepat melarang. “Lakukan hal lain.” 

“Hmm.” Alisha mengetuk-ngetukkan telunjuk ke jam tangannya sambil berpikir. “Oh, aku dapat ide! Yuk!” 

“Ayo.” Nihil, seperti sudah rutin, mengeluarkan jam sakunya. “Ke mana kita?” 

Alisha menyebutkan waktu yang mereka tuju, dan keduanya pun lenyap dari ruang kerja. 

***

Alisha tidak pernah dianggap sebagai orang yang senyumnya menular, tetapi entah Andini merupakan pengecualian atau orang lain yang salah, ekspresi sahabatnya itu justru menjadi cerah begitu melihat Alisha berlari-lari kecil mendatanginya dengan senyum di wajah.

“Ciee, ada kabar apa, nih? Tumben Lisha ke sekolah senyum-senyum begitu,” goda Andini sambil menusuk pipi Alisha main-main dengan telunjuk. “Pasti habis beli figurin lagi, ya?” 

“Hidupku di matamu cuma ngewibu, ya?” tanya Alisha sambil tertawa. “Bukan figurin, kok.” 

“Ooh, terus terus? Ada apa?” 

“Tidak ada apa-apa, sih,” kata Alisha. “Aku cuma lagi senang saja.” 

Andini ketawa. “Pas ya, cuacanya lagi mendung.”

“Maksudmu kalau aku senang tandanya mau hujan?” 

“Bukaaan. Ih!” 

Alisha tertawa lagi. Andini terlihat senang dan tak percaya sekaligus melihat suasana hati Alisha yang secerah matahari di pantai. 

Omong-omong tentang pantai….

“Eh, Jumat ini tanggal merah, kan? Kau mau tidak, kalau kita berdua pergi ke luar kota sama-sama?” tanyanya. 

Mata Andini melebar. “Eh– hah? Mendadak sekali! Betulan nih, tidak ada apa-apa hari ini?” 

“Aku cuma kepikiran saja,” kata Alisha. “Kita berdua belum pernah kan, jalan-jalan ke manaaa gitu. Jadi ya….” 

“Aku sih mau-mau saja!” sahut Andini. “Ke luar kotanya ke mana?” 

Alisha menyebutkan kota yang sama dengan lokasi tujuan study tour itu. “Jadi kalau mau, kita berangkat Jumat pagi pakai kereta cepat, lalu siangnya check-in penginapan dan istirahat. Sore kita bisa keliling sampai malam.” 

Andini terkesiap. “Eh, bukannya di sana ada pasar malam yang terkenal itu, ya? Yang sampai ada panggung teaternya?” 

Alisha tidak begitu ingat, sebenarnya, tetapi ia mengangguk saja. “He-eh.” 

“Pasar malamnya itu masuk bucket list-ku, tahu!” seru Andini sambil mengguncang bahu Alisha dengan semangat menggebu-gebu. “Ayo, kita pergi yuk!” 

“Sabar!” kata Alisha sambil menghentikan guncangan dari Andini. “Rencananya kan belum pasti. Jadwalnya juga harus kita diskusikan dulu.” 

“Oh, iya ya.” Andini mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke dagu. “Kita pulangnya hari apa? Sabtu sore?” 

“Sekalian saja Minggu sore, bagaimana?” 

“Wah, jadinya tiga hari dua malam?” 

“Tergantung izin orang tua kita, sih.” 

“Ah, iya juga.” 

Mereka jadi pergi, tentu saja, dengan kaveat agar menjaga diri dan bersikap sewajarnya dari orang tua masing-masing. Uang jajan pun diberikan dengan dermawan, sehingga ketika Andini, seperti biasa, hendak memulai debat tentang biar-aku-yang-bayar-semuanya, Alisha bisa mendebat balik. 

Perjalanan itu menyenangkan, setidaknya bagi Andini. Sebagian besar hal-hal yang terjadi di sana telah mengabur dari kepala Alisha – setengah karena ia tahu ini tidak akan jadi putaran terakhir dan setengahnya lagi karena ia terpaksa menghapus beberapa memori di pertengahan jalan. 

Uegh,” Andini mengerang dari tempat duduknya di sebelah Alisha. Merahnya langit di luar hanya tersisa samar-samar, perlahan digantikan oleh jingga keunguan. Beberapa titik-titik putih berpendar di atas sana, tak tertutup kabut asap maupun gedung. 

“Capek?” tanya Alisha sambil menyenggol kaki Andini dengan kakinya sendiri. 

Lihat selengkapnya