Rasanya agak aneh, mengulang hari di mana ia bertemu Andini untuk pertama kalinya tanpa sekali pun bertemu dengan gadis itu. Alisha, begitu tiba di tubuhnya di masa lalu, segera bertindak sebisa mungkin agar ia tidak berinteraksi dengan Andini sama sekali.
Bukannya Andini tidak berusaha. Berkali-kali Alisha terpaksa pura-pura masuk ke dalam toilet wanita untuk menghindar dari Andini yang mendekatinya dari sudut mata.
“Sakit perut, ya?” tanya salah satu orang random yang kebetulan juga ada di sana. Ia langsung terdiam dan mengalihkan pandang setelah Alisha memelototinya.
Meskipun ide ini akan membawa dirinya semakin dekat ke seratus persen, mau tak mau Alisha sedikit menyesal, padahal belum terjadi apa-apa. Pasalnya, dugaannya benar. Ingat kecurigaan dan rasa waswas Andini di hari ketika mereka pertama kali bertemu? Semua itu valid, karena Alisha tahu perasaan merinding yang dingin di punggungnya ini bukan disebabkan oleh usaha Andini mendekatinya.
“Hei, kau tidak pernah memberitahuku rencanamu di putaran ini,” kata Nihil. Tatapan matanya tidak mengarah pada Alisha, melainkan pada sesuatu di belakang bahu gadis itu. Ia tidak terlihat cemas, tetapi ada kecurigaan dalam tatapan matanya. “Apa yang mau kau lakukan?”
“Nanti juga kau lihat sendiri,” gumam Alisha.
Kening Nihil berkerut. Ia terdengar skeptis ketika ia bertanya, “Kau tahu kan, ada manusia yang sedang mengikutimu? Selain temanmu, maksudku.”
“Mm, aku tidak buta.”
Nihil menatapnya lekat-lekat, lalu mengerling lagi ke belakang Alisha. Bibirnya menipis. “Kenapa aku punya firasat buruk tentang … apa pun rencanamu ini?”
Alisha mengulum senyum yang sama sekali tidak ada bahagia-bahagianya. “Berarti instingmu masih bagus,” ucapnya sambil terus berjalan menyusuri selasar sekolah.
Para murid yang tidak sedang mendaftar ke SMA Cendekia telah diliburkan selama masa pendaftaran dan pendaftaran ulang, sehingga begitu Alisha menjauhi ruang pendaftaran, sekelilingnya semakin sepi. Sampai akhirnya, ketika ia membelok di tikungan selasar menuju perpustakaan, ia hanya bisa mendengar langkah kaki dan tarikan napasnya sendiri.
Setidaknya, sampai sepasang langkah kaki lain menyusulnya, pelan tapi pasti. Alisha tidak menoleh dan berbelok lagi ke sebuah lorong lain.
Ia berhenti berjalan, dihadang dinding. Tepat di belakangnya, langkah kaki yang mengekorinya itu ikut berhenti.
“Kau … anaknya orang itu, kan?” tanya orang yang mengikuti Alisha.
Alisha menoleh, tetapi tubuhnya hanya bergeser menyamping agar ia tidak sepenuhnya menghadap orang itu. Orang seperti itu tidak pantas diberi perhatian. “Anak siapa?” tanyanya tenang.
Kemudian keningnya berkerut. Ia … kenal wajah orang ini. Samar-samar, dan tidak sama persis, tapi….
Pemuda yang berdiri di sana tersenyum ramah. Wajahnya sebelas-dua belas dengan wajah Feri, ditambah dengan kartu identitas panitia yang tergantung di lehernya. Namun ekspresinya berbeda. Alisha tidak dekat dengan Feri, tetapi ia tahu ia takkan pernah merasa dingin seperti ini jika berhadapan dengan sang ketua OSIS.
“Wajahmu mirip wajah orang yang ayahku kenal. Tapi nama depanmu diubah olehnya, kan? Ayahmu bilang ia dulunya ingin menamaimu Deandita.” Pemuda itu mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai. Ia tersenyum.
“Mm,” gumam Alisha singkat. “Sejak kapan bangsat yang melecehkan ibuku itu bahkan peduli untuk menamaiku? Memangnya, hewan sepertinya punya hak apa?” Ia menelengkan kepala sedikit. “Wajahmu juga mirip dengannya,” katanya, mengeluarkan kalimat itu seperti ludah menjijikkan dari belakang tenggorokannya.
Pemuda itu tertawa dan melangkah mendekat. Alisha mengepalkan tangannya yang tersembunyi di dalam saku. “Oh, kau kenal dengan ayahku?”
“Syukurnya tidak,” kata Alisha. “Ibu pernah menunjukkan foto ayahmu padaku.”
“Ah,” kata pemuda itu sambil mengangguk.
“Kau sendiri kenapa memojokkan cewek di lorong buntu begini? Sifat bangsat dari ayahmu itu menurun, atau apa?”
Keadaan ini tidak termasuk dalam rencana Alisha dan gadis itu tidak terlalu ahli improvisasi, tetapi kalau dipikir-pikir lagi, tidak ada yang harus diubah. Kenal, tidak kenal, atau hanya sekadar tahu dengan pemuda di depannya ini tidak mengubah apa-apa.
Alisha toh berada di sini hanya untuk Andini.
Pemuda itu mencekal pergelangan tangan Alisha. “Wah, mulutmu pedas,” komentarnya. “Nanti tidak akan ada cowok yang suka denganmu tuh, kalau kau bicaranya begitu terus.”
Alisha mengangkat bahu, tetapi bahkan gestur kecil itu saja menyakitkan – semua ototnya begitu tegang. Sesuatu di dalam kepalanya memberontak seperti alarm bahaya.
“Orang yang benar-benar penting di hidupku tidak akan peduli,” ucapnya. Bahkan ia sendiri pun terkejut dengan betapa tenangnya kata-kata itu mampu ia keluarkan.
“Mm, kalau begitu aku juga penting, ya? Soalnya aku juga tidak peduli mau kau bicara sepedas apa pun,” kata pemuda itu. Jempolnya mengelus pergelangan tangan Alisha. Tangannya yang satu lagi terangkat, bergerak ke pinggang Alisha. Sesuatu di dalam kepala Alisha putus.
Ia memuntir tangan mereka. Sekarang, tangannya di atas, kuku-kukunya menancap di kulit tangan si pemuda. Tangannya yang satu lagi menyambar kerah kemeja lawan bicaranya.
Nihil seharusnya bersyukur. Selama ini, genggaman Alisha pada kerahnya tidak pernah sekasar ini.
“Seandainya nyawa bisa dibalas nyawa, sudah kujadikan kau tumbal untuk Andini,” desisnya rendah. “Sayangnya, manusia sepertimu cocoknya jadi makanan hewan.”
Alisha berayun di tempat, menggunakan berat badannya. Kedua tangannya menyentak bersamaan.
BRAK!
Kepala pemuda itu membentur dinding.
“HEI!”
Alisha tersentak. Genggamannya lepas dan pemuda itu jatuh berdebum ke lantai, lalu tidak bergerak lagi. Pelipisnya berdarah, tetapi dadanya masih bergerak naik turun.
Di ujung selasar, berdiri dengan kedua kaki dibuka selebar bahu, rambut berantakan, dan napas terengah-engah, adalah Andini. Di tangannya tergenggam HP dengan posisi tegak lurus – merekam. Begitu melihat Alisha yang berdiri di atas pemuda itu dan bukan sebaliknya, Andini segera mengantungi HP dan berlari mendekat. Ia menyambar lengan Alisha.
“Kau tidak apa-apa? Dia tidak sempat apa-apa, kan?!” desaknya sambil mengamati Alisha lekat-lekat, kemungkinan besar mencari tanda-tanda kekerasan.
Alisha meletakkan kakinya sehingga posisinya menginjak keras-keras perut pemuda itu yang sedang berusaha bangun dari posisinya di lantai. Kepada Andini, ia menggeleng. “Aku tidak apa-apa.”