Rewind, Until 100%

Aisya A. A.
Chapter #14

[Bab 14]

“Oh, iya, selamat ulang tahun!” seru Andini tiba-tiba di tengah suapan nasi gorengnya yang baru datang. Alisha menatap butir-butir nasi yang terlontar dari mulut sahabatnya dan, sembari mengambil tisu untuk membersihkan meja, dalam hati tertawa melihat anak orang kaya seperti Andini kelakuannya sama saja absurd-nya seperti remaja SMA biasa.

“Makasih,” sahutnya, membiarkan sebuah senyum geli merekah di wajahnya. Ia sudah hafal betul tingkah Andini yang pura-pura lupa ulang tahunnya. Ini akan jadi kali terakhir ia melihatnya, jadi ia membiarkan saja semuanya terjadi seperti pertama kalinya. 

“Nanti mau ke kelasku dulu tidak, sebelum bel masuk?” tanya Andini setelah beberapa saat, kedua kakinya berayun di bawah meja dan jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja.  

Alisha ingat bagaimana suaranya ketika menjawab, dulu, jadi ia membuat suaranya terdengar datar dan berkata, “Mm, lihat nanti, deh. Aku masih belum selesai mengerjakan PR … ah, sejarah. Kenapa, ada perlu?” 

“Ah, itu, tidak sih, tidak penting-penting amat–”

“Ada yang mengganggumu di kelas?” tekan Alisha. “Atau kau kesusahan mengerjakan PR? Atau–”

“Tidak! Bukan itu, cuma aku punya, eh–” Andini semakin gelagapan. Alisha menyesap teh esnya dengan tenang, mengulum senyum dalam setiap tegukannya. Andini akhirnya memukul meja dengan kesal. Manik-manik di gelangnya bertabrakan dengan ricuh. “Itu– pokoknya kau ikut aku ke kelas!” serunya dengan penuh emosi. 

“Oke,” sahut Alisha. 

Andini tersadar, lalu mencondongkan diri ke seberang meja untuk memukul lengan Alisha dengan kesal. “Ih! Kau sengaja, ya?!”

“Kau tidak berubah, sih. Gampang sekali diganggu,” kata Alisha, membiarkan saja Andini memukul lengannya sesuka hati. 

Maka setelah mangkuk, piring, dan gelas-gelas mereka tandas dari makanan, Alisha mengikuti tarikan tangan Andini pada lengannya dan berjalan cepat menyusuri selasar sekolah. 

“Buru-buru sekali,” komentarnya, tetapi tidak memperlambat langkah. “Santai saja. Ulang tahunku masih sampai malam nanti, kok.”

Andini mendelik padanya. “Shush, jangan bicara.” 

“Oke.” 

“Kubilang kan jangan bicara!” 

Alisha tertawa, menikmati percakapan yang normal ini. “Oke.” 

Teman-teman sekelas Andini tidak ada yang menengok dua kali melihat gadis itu setengah menyeret Alisha ke dalam. Wajah Alisha yang tidak pernah jauh-jauh dari ekspresi keruh sudah jadi pemandangan sehari-hari di sana karena Andini. Alisha bahkan jadi mempunyai beberapa teman lain di sana. 

Andini membawa Alisha ke tempat duduknya yang ditempeli stiker dan dicoret dengan pewarna kuku. Gadis itu menunduk dan mengeluarkan sebuah tas kertas berwarna putih dengan motif polkadot dari dalam kolong meja. Di bagian depan tas itu tertera nama Alisha dengan tinta keemasan yang berkerlap-kerlip. 

Nihil sempat hendak menghapus memori ini. Namun, Alisha segera merebut kepingan memori itu dari tangannya dan menendang belakang lutut pemuda itu. 

Manusia memang terlalu sentimental. Padahal, Alisha masih punya kesempatan melihat tas hadiah ini sekarang, tetapi saat Nihil hendak menghapusnya dulu, panik menyergapnya dengan telak. Ia tidak ingin kehilangan memori itu. 

Lucunya, entah mengapa rasanya tas kertas sederhana itu terlihat lebih indah dibandingkan kali pertama Alisha melihatnya. 

“Nih!” kata Andini dengan riang. “Selamat ulang tahun! Eh, tadi sudah kuucapkan, ya? Tidak apa-apa deh, sekali lagi. Semoga panjang umur, sehat selalu, dan makin cantik ya!” 

“Amin,” Alisha menyahut sambil tersenyum. Kedua pipinya terasa pegal, tidak terbiasa tersenyum sebegini banyak. Namun ia tidak berhenti. “Tapi mau secantik apa pun, toh nanti kita semua akhirnya akan jadi abu lagi.” 

“Iya, sih, tapi kan berdoa tidak ada salahnya.” Andini mendorong tas kertas itu ke pegangan Alisha. “Nih, hadiahmu! Semoga kau suka, ya. Kalau tidak suka juga tidak apa-apa, tapi jangan bilang ke aku.” 

Alisha tertawa. Ia menerima tas kertas itu dan mulai mengelupas potongan selotip yang menyegel bukaannya. “Aku buka sekarang, ya?” 

“Eh–?! Ya, terserah, sih. Tapi–” 

“Aku pasti suka, kok,” tegas Alisha. “Aku tahu aku pasti suka.” 

Andini merengut, tetapi ia tidak mencoba menghentikan Alisha. “Pokoknya kalau tidak suka, pura-pura suka saja.” 

“Kalau aku bilang ‘pasti’, artinya ya pasti.” 

Di dalam tas kertas itu ada sebuah kotak hitam polos. Bahannya kokoh dan permukaannya mulus. Kotak itu lebih berat dari kelihatannya, jadi Alisha memegangnya erat-erat dari bawah. 

Alisha menekan tombol perak kecil di bagian depan kotak dan mendorong tutupnya membuka. Melihat benda yang terletak di dalam kotak itu, sesuatu yang hangat dan senang berdesing di dalam dadanya seperti seekor lebah di padang bunga. 

“Din,” ia memulai, lalu terdiam. Ah. Ternyata ia lebih emosional dari yang ia kira. Setelah menarik napas dalam, akhirnya Alisha mampu berucap, “Din, kau gila.” 

Kedua mata Andini melebar cemas. “Oh! Um, kau tidak suka…?”

“Ini hadiah terbaik yang pernah kuterima,” kata Alisha, memotong kecemasan Andini sebelum sempat berakar. 

“Oh … Oh!” Andini tersenyum lebar, ekspresi wajahnya bagai cahaya lampu pijar.  “Baguslah, kalau begitu! Aku senang kau suka!” 

“Seandainya aku tidak tahu kau hanya akan mendebat, aku akan protes tentang harganya,” kata Alisha. “Tapi aku tahu berdebat denganmu tentang itu sama saja dengan berdebat melawan batu karang.” 

“Kau sendiri keras kepala!” kata Andini, mendadak defensif di bawah tatapan tak percaya Alisha. “Ini kan ulang tahun terakhirmu di masa SMA. Anggap saja sekaligus hadiah perpisahan. Uangnya bukan masalah buatku, kok, sumpah deh!” 

Alisha meletakkan kotak itu di atas meja dan memeluk sahabatnya erat-erat, menghentikan banjir kata dari mulut gadis itu. “Makasih banyak. Aku suka hadiahnya.” 

Andini membeku sejenak karena kaget sebelum tertawa riang dan menepuk-nepuk punggung Alisha. “Sama-sama! Selamat ulang tahun, ya!” 

“Sudah tiga kali kau ngomong begitu.” 

“Tidak apa-apa dong, biar pas tiga kali. Third time’s the charm atau apalah itu, kan?” 

Alisha mendengus dan melepaskan pelukan. Ia meraih kotak hadiahnya lagi dan dengan hati-hati melepaskan jam tangannya dari bantalan di dalam kotak. Ia langsung melingkarkan jam itu di tangan kanannya dan menguncinya di ukuran yang benar. Warna emas dan hitamnya berkilau di bawah sinar matahari dan Alisha bisa merasakan ukiran namanya sendiri di kulitnya. 

Lihat selengkapnya