Rewind, Until 100%

Aisya A. A.
Chapter #15

[Bab 15]

Yang menyadarkan Alisha bukanlah cahaya atau suara, melainkan rasa nyeri yang tajam dan panas di lengannya. 

Ia mengerjap dengan kesulitan. Kelopak matanya terasa berat dan lengket, seperti dilem. Ia terbaring di atas genangan sesuatu yang hangat. 

Ia berguling ke samping dan mendorong tubuhnya ke posisi duduk. Prosesnya lama dan begitu ia telah duduk, napasnya memburu dan seluruh tubuhnya sakit. Ketika ia berusaha menenangkan diri, napas panjang yang ia ambil membuat dadanya terasa seperti habis dihajar. 

Alisha mengangkat kepala dengan perlahan, meringis ketika sesuatu di pelipisnya terasa perih, dan menoleh ke samping. 

Ia disambut dengan tubuh-tubuh yang bergelimpangan di tanah berbatu, bersimbah darah dan tanah. Tidak jauh darinya, bangkai bus teronggok seperti mainan rusak. Potongan besi menancap di segala arah – batang pohon, tanah, dan banyak tubuh. 

Ada sebuah tangan mencuat dari bawah bangkai bus. Di pergelangannya, terpasang gelang manik-manik. 

Rasa sakit Alisha lenyap seketika. Ia berdiri, terhuyung, lalu berlari ke arah tangan itu. Ujung jemarinya telah membiru. Alisha tetap menggenggamnya, satu tangan menahan badan bus. Seakan ia bisa mengangkat benda itu dari atas Andini. 

Seakan ia Tuhan. 

Namun ia bukan Tuhan.

“Aah,” bisiknya, kepalanya bising dan senyap di saat yang bersamaan. Sesuatu di dalam dirinya pecah. “AaaaAAAAAAAAAAAH–!

Jeritannya putus. Ia tersedak, batuk, memuncratkan darah ke tanah. 

“Ah,” kata suara yang familier dari belakangnya. Alisha menoleh tajam. Nihil berdiri di sana, tudungnya tidak terpasang di kepala. Ekspresinya penuh teror. 

Tangan Andini jatuh dari genggaman Alisha. Ia berdiri menghadap Nihil. Di antara mereka, sunyi. 

Lalu, Alisha bergerak. Tangan kanannya mencengkeram kerah Nihil. Kain hitam itu robek. Tangan kirinya menyasar lebih tinggi. 

Alisha tidak tahu Nihil makhluk apa. Mungkin dia tahu, tetapi lupa. Atau mungkin ia tidak pernah tahu sejak awal. Yang jelas, begitu kuku-kuku Alisha membenamkan diri di leher Nihil, darah menciprat. 

“Hngk–!” 

Nihil mencengkeram bahu Alisha. Satu tangannya mendorong wajah Alisha. Pupil matanya lebar, segelap dasar sumur. Takut. 

“Lepas!” teriaknya. Ia memberontak. Pandangan Alisha berputar. Selama sedetik, ia seakan melayang. Lalu tubuhnya menghantam tanah. 

Bangsat!” jeritnya, abai dengan tubuhnya yang sakit. Ia menjambak rambut Nihil. Mencakar wajahnya. Menendang perutnya. “Bangsat! Kenapa Andini mati?!” 

Nihil membuka mulut. Alisha meninju wajahnya sekuat tenaga. Nihil menangkap tangannya dan memuntirnya ke belakang. 

“Aku tidak– stop, stop, Alisha–” Nihil menyentakkan kepala ke belakang, melepaskan rambutnya dari genggaman Alisha. Ia mengguncang bahu Alisha. “Alisha! Aku tidak tahu!

“Bohong!” jerit Alisha. “Bohong! Mustahil kau tidak tahu!” 

Nihil menginjak baju Alisha untuk menahannya di tanah. Cengkeraman Alisha jatuh. Napas mereka berdua kacau. Alisha bisa mendengar deru jantungnya, seperti dihubungkan dengan pengeras suara. 

“Aku tidak tahu,” kata Nihil lirih. Pipinya yang telah berubah ungu terlihat kontras dengan mata emasnya. Pandangannya menerawang ke belakang Alisha. “Aku benar-benar tidak tahu. Sumpah.”

Kalimatnya mengabur di telinga Alisha. Semuanya mengabur. Yang tersisa hanya sensasi darah di tangannya dan denyut di balik rusuknya. Darah Nihil. Darahnya sendiri. 

Lihat selengkapnya