Alisha terbangun di tubuhnya sendiri, terduduk di lantai selasar sekolah yang setengah-kotor setengah-tidak. Ha. Kotor yang ambigu.
Ia berdiri dan menyipitkan mata, sedikit pusing. Ini pertama kalinya ia memutar waktu tanpa Nihil. Ia bahkan tidak benar-benar yakin manusia biasa sepertinya bisa menggunakan jam Nihil.
Yah, buktinya telah terpampang di depan matanya. Sekarang tinggal mencari tahu dia mendarat di waktu yang mana. Alisha tidak terlalu memperhatikan ketika ia mengaktifkan jam Nihil.
“Hai, kau nyasar ya?” tanya seseorang dari belakangnya.
Alisha menoleh.
Pemuda itu. Yang mengikutinya di hari pendaftaran. Sesuatu yang panas meledak dalam dada Alisha.
Kalau orang ini tidak ada … kalau orang ini tidak berkelakuan seperti hewan … mungkin masalah Alisha akan berkurang satu. Masalah orang lain juga.
Kali ini agak berbeda. Alisha tidak memojokkan diri di lorong buntu seperti di putaran sebelumnya. Mereka berdiri di selasar terbuka, sinar matahari menerangi keduanya seperti lampu sorot.
Di sebelah Alisha, kantin.
Ia menoleh, menatap pemuda itu dengan tajam, lalu masuk ke kantin. Segera, bunyi langkah kaki lain menyusulnya.
“Mau daftar ulang, ya?” tanya si pemuda lagi. Ketika Alisha tak menyahut, ia melanjutkan, “Ini salah arah, lho. Ruang pendaftarannya di sana.”
“Tidak,” sahut Alisha. Ia masuk ke dapur kantin yang tak berpintu – apa pula yang bisa dicuri dari sana, kecuali peralatan dapur yang sudah terpakai? “Aku di tempat yang benar.”
Lalu ia berbalik dan menikam pemuda itu di perut. Lalu sekali lagi. Lagi. Dan sekali lagi supaya yakin. Pemuda itu berteriak. Jam saku Nihil ia jatuhkan ke lantai. Dengan tangan yang kosong, dibekapnya mulut pemuda itu, didorongnya hingga ia tergencet ke dinding. Darah memancar ke lantai.
Alisha mencabut pisaunya dan melemparkannya ke arah lain. Tisu yang ia pakai untuk mencegah sidik jari ia masukkan dalam saku. Pemuda itu roboh.
“Kau sinting…!” seru pemuda itu. Suaranya tertahan, penuh rasa sakit. “Gila! Akan kulaporkan ke polisi–!”
“CCTV di sini mati,” kata Alisha. “Juga di selasar-selasar sebelumnya.”
“Sidik jarimu–!”
“Aku tidak bodoh.” Alisha membuka jendela yang mengarah langsung ke parkiran kanan dan duduk di pinggirannya. Sejenak, ia menimbang-nimbang menelepon ambulans – pemandangan di hadapannya ini terlihat sedikit terlalu menyedihkan, bahkan untuk dirinya. Namun ia teringat pada perkataan Andini.
“Kau tidak mau melaporkannya? Kalau nanti dia mengincar orang lain, bagaimana?”
Seperti ini, pemuda ini tidak akan bisa mengincar siapa-siapa lagi. Tidak Alisha, tidak Andini, tidak juga orang lain.
“Ah– HEI!”
Speak of the devil. Suara Andini menggema mendahului tubuhnya yang baru merangsek masuk ke dapur beberapa detik kemudian.
Ia lalu terkesiap. Matanya terarah ke lantai, membelalak.
Alisha menegakkan tubuh. Mau tak mau khawatir juga ia dengan reaksi Andini melihat pemandangan di dalam ruangan itu.
“Hei,” sapanya dari jendela.
Andini tersentak dan menatapnya liar. Ekspresinya berubah bingung. Ia menatap darah di lantai lagi dan kali ini mengikuti arah genangannya sampai ke tubuh si pemuda yang masih kejang-kejang sendiri.
“Kau … dia…,” ucapnya terbata-bata. “Ini … kau yang menyerangnya?”
Alisha mengedikkan bahu. “Secara teknis, dia menyerangku duluan. Tapi kalau ini dibawa ke pengadilan, bisa dijamin akulah yang akan masuk penjara.”
Pemuda itu mengeluarkan suara-suara tercekik dan tersedak. Lalu ia terdiam. Masih bernapas, tapi tidak akan bertahan lama. Genangan di lantai sudah jadi selebar karpet.
Kekagetan Andini berubah kembali menjadi fokus. “Kau tidak terluka, kan? Atau … diapa-apakan?” tuntutnya pada Alisha.
Alisha menggeleng. “Aku keburu melukainya lebih dulu.” Lalu, sebagai sebuah tes untuk Andini, ia menambahkan dengan tawa pahit, “Tapi sekarang aku tidak tahu harus bagaimana. Kalau ada yang melihat, aku akan langsung dicap pembunuh. Ah, tidak salah, sih. Tapi aku tidak mau masuk penjara.” Ia memiringkan kepala sedikit. “Apa kau akan menelepon polisi? Atau para guru, mungkin?”
Andini ternganga sejenak, lalu mulutnya mengatup. Rahangnya mengeras. Tatapannya tajam dan penuh keyakinan. “Tidak. Kita akan membersihkan tempat ini dan membuang mayatnya,” katanya. Nada suaranya absolut, tak goyah. Melihat tatapan terpana yang diarahkan Alisha padanya, Andini menambahkan, “Kau membela diri, kan? Aku … aku tidak mau kalau kau sampai perlu membunuh orang, tapi … kalau dia yang keluar rumah dengan niat jelek seperti itu duluan, berarti dia pantas dibunuh, kan?”
Kini, giliran Alisha yang ternganga.