Rewind, Until 100%

Aisya A. A.
Chapter #17

[Bab 17: Nihil I]

“Ia sudah pergi dari sini,” kata Linggar begitu mereka bertiga mendarat di waktu yang lain. Tubuh Alisha duduk di lantai rumahnya, berwajah dan berpandangan bingung menghadapi Andini yang berjongkok di hadapannya dengan ekspresi khawatir. 

Nihil diam saja, tangannya menggantung lurus dan kaku di sisi tubuh. Remi berdiri di tengah, memisahkan Nihil dan Linggar seakan seniornya itu bisa merasakan ketidaknyamanan Nihil. 

Bicara tentang Remi, Nihil melirik seniornya itu. Tidak seperti lompatan mereka sebelumnya, entah mengapa sekarang Remi tidak langsung memimpin mereka pergi ke timeline yang didatangi Alisha. Malah, Remi justru mengernyit kepada jam pasirnya seakan jam itu baru saja menghina kinerjanya. 

“Remi?” tanya Linggar, menyadari kejanggalan yang sama. “Ada masalah? Kenapa kita tidak pindah?” 

Remi mendongak dan melihat pemandangan di sekeliling mereka. “Manusia itu sudah meninggalkan timeline ini, tetapi timeline-nya tidak runtuh seperti yang sebelumnya. Berarti dia belum mengubah apa-apa di masa lalu.”

“Mungkin dia melompat ke masa depan?” usul Linggar sambil mengedikkan bahu. 

Remi menggeleng. “Dia melompat lebih jauh ke belakang. Jam pasirku sudah melacaknya.” 

“Oke … kenapa kita masih belum bergerak?” tanya Linggar. “Timeline ini akan tetap runtuh nantinya, atau kita yang menghapusnya begitu masalah ini selesai. Jangan dipusingkan.” 

“Aku hanya khawatir,” kata Remi. “Dari yang sudah kita lihat dan penjelasan Nihil, manusia ini impulsif. Setiap kali ia berpindah ke waktu yang berbeda, ia langsung mengubah sesuatu. Apa saja, sekecil apa pun. Kenapa sekarang dia belum melakukan apa-apa?” Akhirnya ia menoleh kepada Nihil dengan pandangan bertanya, seakan Nihil bisa menebak apa yang muncul di pikiran manusia itu hanya karena mereka bekerja sama satu kali. Di luar impulsivitas dan kebiasaan Alisha melakukan kekerasan setiap kali ia merasakan emosi negatif, Nihil tidak mengenal gadis itu. Tidak bisa menerka apa rencananya. 

Tampaknya Remi melihat ketidaktahuan dalam ekspresi Nihil sehingga ia tidak mendesak lebih jauh. 

“Sudahlah, kita langsung pergi saja,” kata Linggar, terdengar bosan setengah mati. 

Remi membalikkan jam pasirnya. Mereka semua menghilang dari sana. 

***

Nihil mengerjap lambat, memproses sekitarnya. Mereka bertiga berada di rumah sakit. Puluhan, ratusan manusia berlalu lalang di sekeliling mereka, dari pasien, nakes, sampai satpam. 

“Rumah sakit manusia…,” gumam Nihil. Ia mengernyit dan beranjak mendekati meja administrasi. Ia mengintip dokumen yang sedang diurus oleh seorang suster. Matanya melebar. Ia segera kembali ke sisi kedua seniornya. “Ini jauh sekali di masa lalu,” ucapnya cepat. 

Remi mengangguk. “Manusia itu bahkan mungkin belum pernah bertemu dengan temannya.” 

Nihil menggeleng. “Mereka bahkan belum lahir!” 

Ketiganya terdiam. 

“Lalu kenapa jamnya mengarahkan kita ke sini?” tanya Linggar, menyuarakan pertanyaan mereka semua. Tidak ada yang bisa menjawab. Remi sibuk mengecek jam pasirnya, memastikan ia tidak salah memindahkan mereka. 

Nihil membiarkan kedua seniornya itu memeriksa bagian teknisnya. Ia mengedarkan pandang ke para pengunjung rumah sakit. Mendengarkan. Menyimak. Ada firasat buruk membebaninya. 

Seorang suster yang berlari keluar dari bangsal IGD menarik perhatiannya. 

“Dokter Irma sudah datang?” tanyanya pada resepsionis. “Ada pasien melahirkan. Sudah bukaan tujuh. Prematur.”

Resepsionis menggeleng. “Dokter Irma macet katanya.” 

Suster itu kembali lari ke bangsal IGD. Nihil melirik ke arah kedua seniornya yang masih sibuk sendiri, lalu berjalan cepat mengikuti suster itu. Ia berhenti di depan sebuah bilik yang ditutup tirai tebal. Ada suara para suster di dalam, terburu-buru dan urgen. Ada suara seorang wanita. Tidak ada suara pria yang mendampinginya. 

Lalu, suara tangis bayi berkumandang. Ah, tidak. Tidak berkumandang. Tangisannya begitu pelan, begitu lirih. 

Seorang suster menyibakkan tirai dengan bayi itu di tangan. Tubuhnya kecil. Kulitnya pucat. Nihil tidak tahu apa-apa tentang bayi, tetapi bayi itu begitu diam sehingga bahkan makhluk seperti dirinya pun iba melihatnya. Dari dalam bilik, seorang suster lain dan ibu dari bayi itu sedang berbicara. 

“Ibu akan kami pindahkan ke ruang–” 

“Sebentar. Tolong. Anak saya–” 

“Anak Ibu sedang dibawa ke ruang inkubasi, Bu. Kondisi vitalnya kurang stabil, tetapi sehat.”

“Bukan. Namanya. Nama anak saya–”

“Ibu mau menentukan nama sekarang?” Suster itu terdengar terburu-buru, sedikit tidak sabar. “Ah, nanti ada bagian administrasi, Bu. Untuk sekarang kami pindahkan Ibu ke ruangan lain dulu, ya.” 

“Alisha Indrawati,” sela sang wanita. Nihil memejamkan mata, meringis. “Nama anak saya Alisha Indrawati.” 

Nihil tidak tinggal di depan bilik itu cukup lama untuk mendengar respons suster terhadap pernyataan wanita itu. Ia berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. Apa tadi kata suster yang membawa bayi itu? Ruang inkubasi?

Untungnya Nihil menemukan ruang yang dimaksud tanpa harus berputar-putar. Ruangan itu berdinding kaca tebal. Ia bisa melihat bayi-bayi di dalam dengan jelas, dibaringkan di bawah lampu khusus dan beberapa dipasangkan bersama tabung oksigen. 

Satu bayi menggenggam jam saku Nihil di kedua tangan kecilnya. Para suster tidak bisa melihat jam itu, tentu saja. Benda itu tidak nyata secara fisik. Namun Nihil melihatnya. Ia melangkah menembus dinding. Bayi itu membuka mata. 

Tatapannya terlalu cerdas. Terlalu dewasa. Tajam. Kosong. 

Nihil mendekat. Jamnya ada di sana. Ia hanya perlu merebutnya dari seorang bayi. Lalu semua masalah ini bisa berakhir.

Bayi Alisha menatapnya datar, lalu tangan kecil bergerak. 

Lihat selengkapnya