Sebenarnya, Alisha bisa saja bertanya langsung kepada Andini. Ia tinggal berkata, “Apa kau punya bucket list?” dan Andini akan membeberkan semuanya dengan sendirinya. Namun Alisha sedang dikejar-kejar waktu – ha! – dan ia tidak sudi terkejar hanya karena ia menghabiskan waktu dengan bertanya.
Jadi ia pergi ke tempat aneh dimana ia bisa melihat semua timeline yang ada dan pergi ke waktu yang tepat.
Bucket list Andini dicatat dalam sebuah binder berwarna merah. Alisha pernah melihat binder itu sebelumnya, tetapi hanya beberapa kali dan hanya setelah ia dan Andini telah berteman selama setahun. Ketika itu, sampul depannya dihiasi foto polaroid Alisha dan Andini yang mereka ambil di sebuah photo booth di mal. Sekarang, sampul binder itu masih kosong.
Alisha mengintip dari balik bahu Andini selagi gadis itu menuliskan isi bucket list-nya. Ia harus cepat. Karena dalam mode tak kasatmata seperti ini, Alisha harus meninggalkan tubuhnya di tempat lain. Ia telah mengambil risiko besar dengan meletakkan tubuhnya di ruang kerja Nihil dengan asumsi Nihil yang sedang sibuk mencarinya tidak akan sadar bahwa tubuh Alisha ada di sana, tak berjiwa.
Ia menonton kalimat demi kalimat penuh harapan kekanak-kanakan Andini diterakan di atas kertas. Ia menghafalkan semuanya. Nomor demi nomor. Tempat demi tempat.
Lalu, tepat ketika udara di sekitarnya menjadi berat tanda posisinya telah ditemukan, Andini menutup pulpennya dan meregangkan lengan. Alisha pergi dari sana tak sedetik lebih lama.
Ia kembali ke jalan besar tempat ia bisa melihat segalanya dan memilih waktu spesifik untuk dimasuki.
Hal pertama di bucket list Andini adalah pergi ke wisata akuarium dan melihat ubur-ubur. Bukan hal paling mudah yang ada di dalam daftar karena Alisha memilih secara acak, tetapi bukan sesuatu yang sulit. Ada wisata akuarium yang cukup terkenal, tiga kota jaraknya dari tempat mereka tinggal.
Ia memutar jarum jam dan menekan tombol. Sekelilingnya berputar seperti pusaran badai pasir. Ketika ia membuka mata, kedua kakinya menapak di tanah biasa dan ia berada di sekolahnya.
“Lisha!” seru Andini dari belakangnya, punggungnya ditepuk dengan kuat. Alisha berhasil menyeimbangkan mereka berdua agar tidak tersungkur ke lantai. “Lagi memikirkan apa, nih?”
“Liburan,” jawab Alisha sambil tersenyum. “Kita kan nanti libur lumayan lama, jadi aku pikir mungkin asyik kalau kita liburan sama-sama.”
Mata Andini membulat. “Eeh, kerasukan setan mana kau, tiba-tiba mengajak liburan sama-sama?!” serunya, lupa bahwa wajahnya berada di sebelah telinga Alisha. Alisha hanya menghela napas dan menepuk telinganya yang berdengung.
“Tidak kerasukan setan mana-mana, kok,” sahutnya. “Aku hanya mau liburan denganmu. Tidak boleh?”
“Iih, boleh lah!” Andini tampak siap meloncat-loncat di tempat saking antusiasnya. “Sudah ada rencana mau ke mana? Luar kota asyik kali, ya?”
“Kalau kita ke Seaworld yang di Kota S itu, bagaimana?” tanya Alisha. Satu kaki ia mundurkan untuk mengantisipasi reaksi sahabatnya. “Aku tidak tahu sih, kau suka wisata akuarium atau tidak, tapi–oof!”
Untung Alisha sudah meramal akan diterjang oleh Andini. Ia berhasil menahan berat sahabatnya dan mereka tidak jatuh ke lantai seperti dua karung beras.
“Aa! Suka? Suka? Wisata akuarium itu masuk ke bucket list-ku, tahu!” seru Andini gembira. “Kau serius mau mengajakku liburan ke sana?!”
“Dua rius. Serius seratus persen,” sahut Alisha sambil tertawa. “Jadi, kau mau ikut?”
“Gila, ya?! Aku pasti ikut!”
Alisha, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, merasakan ketulusan dalam senyumnya. “Oke.”
***
Item kedua di bucket list Andini: main ayunan sampai berputar 360 derajat.
Kali ini, Alisha melompat lebih jauh ke masa lalu. Beberapa tahun setelah waktu ini dan sebelum ia dan Andini bertemu, taman bermain di area tempat Andini tinggal akan digusur. Jadi, ini adalah waktu terbaik untuk mencoret item kedua ini – sebelum taman bermain itu hilang.
Alisha sudah tidak lagi merasa terdisorientasi berada di dalam tubuh anak-anaknya setelah beberapa putaran yang lalu. Ia menunggu Ayah dan Ibu pergi kerja, lalu membuka tabungannya dan pergi ke halte bus terdekat. Dia sudah jera pergi dari rumahnya ke rumah Andini dengan berlari.
Menemukan Andini kecil di taman bermain itu tidak sulit. Anak itu tengah berbaring tengkurap di tanah, berbicara pada sesuatu yang tidak kelihatan. Ketika Alisha mendekat, ia melihat gerombolan semut di sana.
“Andini,” panggilnya. Andini tersentak dan membalikkan tubuh sehingga ia terlentang. Meski diterpa sinar matahari, matanya tidak menyipit sedikit pun selagi ia menatap Alisha.
“Eh, hai! Kau siapa? Baru pindah ke sini, ya?” Andini menyapa balik.
“Mm.” Alisha mengangguk. “Mau main ayunan?”
Andini langsung berdiri, wajahnya dibelah dua oleh cengiran lebarnya. “Oh, ayo! Biar aku bantu mendorongmu! Namamu siapa? Eh, iya, kok kau bisa tahu namaku?”
Alisha membiarkan Andini menarik tangannya ke arah sepasang ayunan besi berwarna cerah yang dibangun di bawah naungan sebuah pohon. “Namaku Alisha. Cara aku tahu namamu….” Alisha membiarkan dirinya tersenyum lepas. Toh wajahnya sekarang adalah wajah anak-anak. “Rahasia, deng.”
Andini merengut dengan dramatis dan mendorong Alisha sehingga ia terduduk di atas salah satu ayunan. “Malah rahasia-rahasiaan!” protesnya sambil berdiri di belakang Alisha. “Kudorong kau tinggi-tinggi, baru tahu rasa!”
Alisha tertawa. “Ayo! Nanti gantian aku yang mendorongmu!”
Setelah mereka bergantian dan ia berhasil membuat Andini berayun 360 derajat, ia hanya menyempatkan diri untuk memastikan anak itu tidak jatuh tersungkur sebelum pergi dari sana.
“Itu dia! Alisha!” seru suara Nihil, tepat ketika pandangan Alisha tertutup pasir.
Ia melompat ke waktu lain secara acak untuk mengaburkan jejaknya sedikit sebelum pindah ke tujuannya yang berikut.
***
Item berikutnya di bucket list Andini adalah….
“Eeh, serius, nih? Kau … kau mau ikut masuk? Alergimu bagaimana? Nanti kalau kambuh…,” cerocos Andini dengan cemas. Di depan mereka, menjulang gedung bercat kuning cerah dengan tulisan besar di jendela depannya yang berbunyi KAFE KUCING.
“Tidak masalah, aku sudah minum obat,” kata Alisha. Andini tidak terlihat tenang meskipun ia berkata begitu, jadi kali ini Alisha yang berinisiatif untuk menggandeng tangan gadis itu dan menariknya masuk ke dalam kafe.
Begitu melihat Alisha sehat-sehat saja dan tidak langsung jatuh pingsan begitu berada satu ruangan dengan para kucing, sikap Andini akhirnya berubah. Ia ber-ooh dan ber-waah pada setiap kucing yang ada di sana, baik yang ramah maupun yang tidak terlalu senang dipelototi manusia.
“Lisha, lihat nih! Mukanya mirip denganmu!” seru Andini. Di dalam pelukannya ada seekor kucing bercorak hitam putih dengan ekspresi tak terkesan yang permanen. Alisha menatap kucing itu lama, lalu mengangkat sebelah alis dengan tatapan skeptis pada Andini. Andini hanya tertawa dan lanjut menimang kucing itu dengan sayang.
“Aku cari meja yang kosong dulu, kau main-mainlah dengan kucingnya,” ujarnya pada Andini, lalu beranjak ke area kafe.
Andini menyusulnya dengan jaket penuh bulu kucing ke tempat duduk yang telah diklaim Alisha. Alisha mendorong piring kue yang ia pesan pada Andini, masih tersisa beberapa suap.
“Jadi?” tanyanya.
“Iih, semua kucingnya lucu-lucu!” seru Andini. Kedua matanya berbinar-binar. “Tadi ada yang masih kecil. Duuh, kepalanya bulat sekali! Terus ada yang kakinya hanya ada tiga, jadi kalau dia mau memukul kucing lain dia harus berdiri dengan kaki belakang. Ada juga yang telinganya terlipat ke belakang….”
Alisha menyesap milkshake-nya perlahan-lahan, menyimak celotehan Andini dalam diam, membiarkan setiap naik, turun, dan perubahan dalam nada suara Andini menerpanya seperti kicauan burung yang indah di pagi hari.
“Kenapa ke kafe kucing bisa sampai masuk ke bucket list-mu?” tanya Alisha ketika Andini akhirnya berhenti bicara untuk menyuap kue. “Tempat ini tidak jauh-jauh amat dari rumahmu. Kenapa tidak pergi kapan saja?”
“Eeh, mana asyik kalau sendirian!” protes Andini. Kemudian ia memikirkan ulang kata-katanya. “Maksudku, sendirian asyik juga, sih daripada datang dengan teman yang tidak terlalu dekat denganku. Tapi, kan sekarang aku punya Alisha! Jadi mending kita pergi bersama-sama daripada aku ke sini sendirian, kan?”
Alisha mengerjap. Huh. “Jadi, sebenarnya yang masuk ke bucket list-mu itu bukan kafe kucingnya, tapi….”
“Pergi ke kafenya dengan Alisha, iya,” kata Andini sambil tertawa. Satu tangannya menggosok tengkuknya dengan sedikit malu-malu. “Soalnya Lisha jarang mau ke mana-mana di luar sekolah, jadi begitu kau bilang mau jalan, aku jadi terlalu semangat.”
“Begitu, ya.” Bulu kuduk Alisha meremang. Genggamannya pada gelas minumannya mengerat. Ingin ia mematri cengiran Andini ke memorinya. “Tidak apa-apa, sih. Aku suka Andini yang terlalu bersemangat. Kalau tidak begitu, bukan Andini dong namanya.”
Andini terkesiap, lalu cekikikan pelan dan mengulurkan tangan untuk memukul pelan lengan Alisha. “Ih, bisa saja!”
Alisha tersenyum. Tangannya masuk ke bawah meja, tersembunyi dari pandangan. Udara di sekitar mereka berubah. Ia menekan tombol.
Ia sudah pergi dari sana bahkan sebelum Nihil sempat selesai memanggil namanya.
***
Satu per satu item di bucket list Andini berhasil dicoret Alisha. Ia juga telah bergerak dengan baik, menghindari tangan-tangan para pengejarnya.
Item terakhir yang ada di sana adalah sesuatu yang sederhana.