“Di mana tubuh fisikmu kau letakkan?” adalah kata-kata pertama yang diutarakan Nihil pada Alisha sejak reuni mereka.
Alisha menaikkan sebelah alis dengan ekspresi seakan sedang berkata ‘kau goblok atau bagaimana?’. “Di ruang kerjamu,” katanya singkat dan Nihil jadi benar-benar merasa goblok. Dengusan Linggar terdengar dari sebelahnya. Nihil memutuskan untuk mengabaikan seniornya.
“Kita kembali ke sana, kalau begitu,” kata Remi. Di momen berikutnya, mereka sudah berada di ruang kerja Nihil.
Seperti kata Alisha, tubuhnya ada di sana, diposisikan duduk bersandar ke dinding dengan kedua kaki diselonjorkan. Nihil dan Remi melepaskan bahu Alisha. Gadis itu berjalan ke arah tubuhnya dan masuk ke dalamnya. Tak sampai sedetik kemudian, kelopak mata Alisha perlahan-lahan membuka. Matanya masih kosong, tetapi ada bibit-bibit cercah cahaya di sana.
“Met pagi,” sapa Linggar. “Siang, sore, dan malam juga sekalian. Bagaimana rasanya, jadi manusia pertama yang melanggar aturan waktu seekstrem ini?”
Alisha menatap Linggar sambil menyipit, ekspresinya tidak terkesan. “Aku akan diapakan?” tanyanya, beralih pandang kepada Nihil dan Remi.
“Kau tidak dapat sanksi macam-macam, kalau itu yang kau tanya,” jawab Remi. “Manusia yang … tersasar di garis waktu … sepertimu berada di bawah tanggung jawab kami, jadi sanksi apa pun akan jatuh ke Penjaga Waktu yang kau temui.”
Alisha menoleh ke arah Nihil. “Oh. Jadi, kau….”
Nihil tersenyum pahit dan mengangkat bahu. “Kau tidak perlu tahu,” katanya. Pandangan Alisha berubah skeptis sejenak sebelum gadis itu mengangguk tanpa mendebat.
“Oke. Jadi aku tidak dikenai sanksi,” ujarnya pada Remi. “Pasti ada ‘tapi’-nya di sana, kan?”
“Ya. Kami akan mengembalikanmu ke timeline asalmu, tapi kami tidak bisa melakukannya selama kau masih punya memori tentang … yah, semua ini,” jelas Remi.
“Kalian akan menghapus ingatanku,” kata Alisha. Ia terlihat tak senang, tetapi tidak memprotes. “Seberapa banyak? Seberapa jauh?”
“Kau tidak boleh mengingatku,” kata Nihil, membiarkan Alisha memahami sendiri lewat implikasinya.
Alisha tercenung. “Itu jauh sekali.”
“Kau tidak boleh mengingat semuanya, Alisha,” kata Nihil. “Bisa bahaya kalau kau ingat sesuatu dari timeline lain, walaupun kau tidak bisa lagi berpindah waktu.”
“... Begitu.” Alisha menarik napas panjang dan menghembuskannya lambat-lambat. Ada kilat penuh pemberontakan di matanya, tetapi di atas itu, di atas segala rasa tidak terimanya, ada sesuatu yang membuat Nihil terpekur. Ada ketenangan di sana. Ketenangan yang sebelumnya tidak pernah ia lihat pada Alisha. “Ya, sudahlah. Memangnya aku boleh menolak?”
“Tidak, dong,” kata Linggar. “Lagipula, jangan salah paham. Ini belas kasihan kami padamu. Kalau yang melakukan semua ini adalah seorang Penjaga Waktu dan bukannya seorang anak manusia yang sedang berduka, konsekuensinya akan jauh lebih berat.”
Nihil bertukar pandang dengan Alisha. Gadis itu terlihat tidak suka dan tidak nyaman berada terlalu dekat dengan Linggar. Yah, setidaknya ia punya kesamaan dengan Nihil dalam hal ini.
“Oke,” kata Alisha pada akhirnya. “Bagaimana kalian akan melakukan ini?” Ia bertanya, khusus kepada Nihil, “Apa kalian akan pergi ke tempat kita menghapus memoriku dulu?”
Nihil meringis, tatapan kedua seniornya terasa seberat langit di bahunya. Ia tak berani menemui mata keduanya. Meskipun begitu, ia tetap menjawab dengan anggukan singkat.
“Nihil pernah membawamu menghapus memorimu?” tanya Remi. Ekspresinya masih campuran cemas dan serius seperti biasa, tetapi ada ketegangan samar di sana. “Bagaimana caranya melakukannya?”
“Ah.” Alisha melirik Nihil, sepertinya baru tersadar bahwa topik baru ini hanya akan memperdalam liang kubur Nihil. Nihil menghela napas dan mengangkat bahu, melemparkan senyum pahit yang lelah di sana. Sambil meringis, Alisha melanjutkan, “Kami, um, memecahkan layar-layar berisi memoriku. Tapi kami hanya menghapus beberapa, karena kepalaku terlalu penuh dengan memori. Kami tidak menghapus memori-memori penting.”
Remi memijat pelipisnya dan bertukar pandang dengan Linggar yang hanya menggeleng sambil nyengir samar seakan Nihil dan Alisha hanyalah sepasang anak kecil yang ketahuan memecahkan jendela dan mencoba memperbaikinya dengan lakban.
“Oof,” Linggar angkat suara, sedikit lebih lembut dari nada mengejeknya yang biasa. “Itu cara yang sangat … basic. Sedikit primitif, sebenarnya. Ketika kami menghapus memorimu nanti, prosesnya tidak akan sebrutal itu.”
“Kau tidak akan merasakan apa-apa, malah,” tambah Remi. Ia lalu mengulurkan tangan pada Alisha. “Bagaimana kalau kita mulai sekarang saja? Semakin cepat kau kembali ke timeline aslimu, semakin baik.”