Temanggung, Maret 2003
Abimana Saputra
Segalanya terjadi tanpa bisa diprediksi.
Aku sama sekali nggak bisa mencegah pernikahan ibu. Tapi, aku memang nggak pernah benar-benar mencoba mencegahnya. Toh, nggak akan ada gunanya. Ibu akan tetap menikah nggak peduli apa yang aku dan Mas Dion katakan.
Siklusnya selalu sama. Ibu tiba-tiba membawa seorang pria ke rumah dan mengenalkannya sebagai calon suami kepada kami. Lalu, dia akan mulai membicarakan rencana pernikahan dan angan-angan masa depan. Meskipun seingatku, pernikahannya nggak pernah lebih dari dua tahun. Terakhir, pernikahannya berakhir saat memasuki bulan ke sembilan.
Sudah enam tahun terakhir, Ibuku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jogja. Dia pulang setiap Sabtu dan berangkat kembali Senin pagi. Sesekali, ibu membawakan kami oleh-oleh. Kadang Gudeg, Sate Klatak, Soto Lenthok, dan makanan khas Jogja lainnya. Tapi, ada waktu di mana intensitasnya menjadi lebih sering. Dan kami yang sudah hafal dengan ritual ini, paham apa yang akan segera terjadi. Sudah bisa dipastikan ibu akan segera menikah lagi. Dan benar, kan?
Sebenarnya, memberikan banyak makanan sama sekali nggak ada korelasinya dengan pernikahan. Tapi, bagaimana kalau ini adalah salah satu cara si pria untuk merebut perhatian? Semuanya jadi lebih masuk akal, kan?
Dulu, ini adalah rutinitas favoritku; menunggu ibu pulang membawakan jajanan pasar di beranda rumah dan menyantapnya bersama-sama. Tapi, perspektifku berubah sejak empat tahun lalu. Makanan dan pemberian, ibu jadikan alat untuk merebut perhatian. Padahal, kami nggak pernah kelaparan, pun meminta apapun untuk dibelikan.
Satu tahun lalu, ibu bahkan membelikanku nitendo baru. Bagi kami yang hidup serba pas-pasan, nitendo adalah barang yang teramat mewah. Jangankan nitendo, bisa beli televisi berukuran mini saja sudah bahagia.
Diperlakukan seperti itu jelas membuatku tersinggung–entah bagaimana Mas Dion menyikapi ini. Bukan merasa diperhatikan, aku justru merasa telah menjadi pengemis belas kasihan. Benar aku dibesarkan tanpa figure seorang ayah. Benar aku nggak pernah bertemu dengan sosok ayah. Tapi, aku nggak pernah minta apapun dari orang lain. Rasa-rasanya, menukar posisi Ayah dengan jajanan pasar favorit bukanlah keputusan yang bijak.
Apalagi, aku sama sekali nggak kenal dengan pria yang ibu nikahi.
Bahkan, sejak akad selesai dilaksanakan, ibu nggak pernah membawa suaminya ke rumah ini. Ibu nggak pernah memberi kami kesempatan untuk mengenal pria itu lebih jauh. Kami hanya mendengar selentingan dari sanak keluarga dan kerabat dekat. Mereka bilang, pria itu duda beranak satu. Anaknya laki-laki, mungkin seusiaku. Tapi, ibu nggak pernah menceritakan detailnya secara langsung kepada kami.
Dan malam ini, ibu kembali memberi kami kejutan.
Bukan karena ibu datang bersama suaminya untuk kali pertama. Tapi, sosok yang mengikuti langkah mereka di belakang. Anak itu terlihat sama malasnya denganku. Dengan langkah gontai, dia mengikuti instruksi ibu untuk masuk. Sialnya, anak laki-laki itu adalah Rafi.
“Duduk sini, Le. Ibu sama Bapak pengin ngobrol,” kata ibu kembali memberi instruksi–entah untukku atau Rafi. Jemarinya yang kurus menepuk sofa hijau lumut tua di ruang tamu kami. Di sebelahnya, seorang pria bertubuh tambun dan berambut agak panjang, tersenyum.
Bapak? Sejak kapan bapak hidup lagi? Dia bahkan nggak pernah memperkenalkan diri secara resmi kepada kami.
Lagi pula, dibandingkan aku atau Mas Dion pria itu lebih mirip dengan Rafi dari segi manapun; rambut panjang berantakan, tonjolan tulang rahang, hingga caranya berjalan.