Temanggung, Agustus 2003
Abimana Saputra
Bulan Agustus selalu menjadi surganya para pelajar. Sudah jelas, tugas dan jam pelajaran dikurangi untuk pelaksanaan lomba dan berbagai pentas seni. Tahun ini, SMK Bakti Pertiwi mengadakan tujuh jenis lomba dari basket, futsal, tarik tambang, bakiak, estafet karet, hingga permainan ala-ala kuis Komunikata dan Berpacu Dalam Melodi.
Satu minggu belakangan, kami sibuk mengikuti lomba. Masih tersisa satu minggu lagi sebelum ‘jam bebas pelajaran’ ini berakhir. Tapi, kami harus berlapang dada menerima kekalahan di semua cabang lomba. Mirisnya, Fian yang nggak doyan dengerin musik justru mendapat jatah ikut sesi Berpacu Dalam Melodi. Ya jelas kalah.
Tahun lalu, TKJ 2 masih semangat mengikuti semua perlombaan. Tapi, tahun ini menjadi lebih berat bagi kami. TKJ 2 harus kalah telak dengan rekan sejurusan. Mungkin karena kami kebanyakan copy-paste tugas Fian. Atau karena aku terlalu membenci Rafi yang belakangan menjadi pusat perhatian?
Setelah kalah di hari pertama pertandingan basket, TKJ 2 harus berpuas diri dengan menjadi tim sorak TKJ 1. Kami harus merendahkan ego dengan berpura-pura mendukung mereka.
“Nggak usah kelewat benci. Toh, kalian sama-sama korban. Nanti benci-benci bisa jadi cinta, lo.”
Kalimat Fian yang tadi pagi dia lontarkan kembali terngiang. Bersamaan dengan itu, riuh teriakan bernada dukungan mulai terdengar–yang tentu saja didominasi suara perempuan. Nggak lama, sang bintang memasuki lapangan.
Sebenarnya, aku sama sekali nggak berminat menyaksikan pertandingan intern ini. Selain karena ada pemain yang selalu berhasil memperburuk suasana hatiku, Ayu juga nggak bisa gabung bersama kami di sini. Tapi, barter yang ditawarkan Fian membuatku mengambil keputusan tanpa pikir panjang; aku menemaninya menonton pertandingan basket sementara dia memberiku contekan tugas fisika.
Gita yang sejak tadi duduk diam mengerjakan tugas fisikanya tiba-tiba ikut berdiri dan memberi sorakan. Aku menggelengkan kepala. Kalau seorang Gita–yang konon nggak doyan pacaran, sampai ikut tergila-gila, berarti memang daya tariknya sudah keterlaluan. Untungnya, Ayu berbeda dengan siswi kebanyakan. Alih-alih duduk di tribun penonton dan teriak kegirangan, dia justru sibuk mempersiapkan diri menghadapi lomba kompetensi siswa yang akan diikutinya.
“Rafi! Rafi! Rafi!” seru Gita nggak kalah antusias. Buku fisika yang sejak tadi dibawa-bawa, dia lupakan begitu saja.
Oh, aku lupa. Sejak memasuki tahun ajaran baru, Rafi menjadi bintang lapangan. Dia dikenal jago main basket nggak hanya di kalangan internal, tapi juga sekolah lain. Lewat poin-poin yang dicetaknya secara beruntun, Rafi melambungkan nama sekolah kami di pertandingan persahabatan antarsekolah. Dan karena ini juga Fian terus meledekku.
“Rafi sama Ayu itu perpaduan sempurna,” kata Fian tanpa mengalihkan pandangan dari sosok Rafi di tengah lapangan. Peluit dibunyikan, gemuruh tepuk tangan memenuhi lapangan. Rafi berhasil mencetak Three point pertama di menit ke sembilan. “Rafi jago main basket, lumayan ganteng, dan Ayu pinter. Wah, pasangan ideal banget!”
Aku hanya memelotot ke arah Fian, enggan menanggapi.
Aku dan Rafi memang jarang berinteraksi. Tapi, hubungan kami juga nggak menjadi lebih buruk sejak malam itu. Segalanya berjalan begitu saja. Sikap Rafi kepada Ayu juga menjadi lebih baik. Rafi nggak pernah mengganggu Ayu atau hubungan kami lagi. Tapi, justru di sini letak ketakutanku. Bagaimana kalau Rafi sedang menyusun rencana yang lebih matang? Bagaimana kalau diam-diam dia menusukku dari belakang?