Temanggung, Desember 2003
Abimana Saputra
Aristoteles pernah berkata, “Marah itu gampang. Tapi marah kepada siapa, dengan kadar kemarahan yang pas, pada saat dan tujuan yang tepat, serta dengan cara yang benar itu yang sulit.”
Aku nggak pernah berharap hubunganku dan Ayu bisa semanis kisah cinta Shane West dan Mandy Moore dalam film A Walk to Remember. Tapi, aku juga nggak ingin hubungan ini berakhir hanya karena hal sepele yang nggak bisa kuatasi dengan baik.
Kejadian sore itu berdampak besar terhadap hubunganku dan Ayu. Sebenarnya, hanya aku–mugkin. Sebab, Ayu tampak biasa saja. Dia tetap menungguku di depan gerbang saat pulang sekolah, tetap menelponku meskipun berkali-kali kuabaikan, dan tetap makan di kantin Bu Sum setiap hari. Sayangnya, itu belum juga cukup mengganti kecewa yang kutanggung beberapa hari belakangan. Entah karena memang dia nggak peka, atau sengaja pura-pura lupa.
Sore itu, aku berlari dari kelas menuju ke gerbang depan–tempat biasanya aku dan Ayu janjian untuk pulang bersama. Begitu melihat sosoknya, aku merasa lega. Tapi, begitu kembali melangkah, aku melihat Rafi lebih dulu menghampirinya. Dan entah kenapa, aku justru berdiri mematung tanpa bisa melakukan apa-apa.
Dari jarak tiga meter, aku bisa mencuri dengar sedikit pembicaraan mereka. Awalnya, mereka membicarakan jadwal lomba, lalu nama-nama siswa yang berhasil melaju ke tingkat provinsi, dan beberapa hal yang menurutku nggak terlalu penting.
Tampak Rafi memberikan kotak berwarna cokelat tua kepada Ayu. Ayu terlihat bahagia saat mengucapkan terima kasih. Sungguh. Bahkan, dari jarak ini saja, aku bisa membayangkan kilat bahagia di mata indahnya.
"Sebenernya, aku ingin minta maaf buat semuanya, Yu. Maaf dari pertama kenal udah sering bikin kamu kesel. Maafin, ya?" tanya Rafi sambil memperpendek jarak di antara mereka. Jadi itu hadiah permintaan maaf?
Ayu yang sejak tadi sibuk menatap kotak cokelat pemberian Rafi seketika mendongak. "Emang aku sengeselin itu sampai bikin kamu pengin ngisengin ya, Raf?"
Kali ini, kalimat Ayu berhasil membuat Rafi tertawa. Dan ini adalah tawa pertama Rafi yang kulihat selain saat dia berhasil mengerjai teman sekelasnya. Rafi benar-benar nggak terlihat seperti biasanya. "Kamu cantik, yu. Sayang, udah ada yang punya, kan?"
Jadi, hadiah itu untuk ungkapan cinta yang lebih tulus? Atau gimana?
Aku menunggu. Satu, dua, tiga, empat hingga detik-detik berikutnya. Tapi, Ayu bergeming. Nggak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir tipisnya. Dan itu cukup untuk membuatku kecewa. Apa susahnya bilang iya? Sebegitu nggak inginnya Ayu mengakuiku sebagai pacarnya?
Begitu Rafi meninggalkan Ayu, aku kembali mengambil langkah. Berharap Ayu akan menjelaskan apa yang baru saja kulihat dan meredam emosiku. Tapi, hingga setengah perjalanan kami, Ayu nggak mengatakan apapun. Dia nggak menjelaskan tentang kotak warna cokelat itu dan maksud Rafi menemuinya.
Sepanjang perjalanan menuju halte, Ayu hanya sibuk bercerita tentang LKSnya kemarin: siapa saja saingannya, berapa sekolah yang mengirim peserta, bagaimana soal-soalnya, dan betapa gugupnya dia saat menanti pengumuman.
Aku hanya diam dan mendengarkan. Sesekali, kujawab celoteh Ayu dengan gumaman. Suasana hatiku saat itu sungguh berantakan.
Ayu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena terpaan angin, lalu mengikatnya asal. "Rencananya, setelah lulus mau ngelanjutin kuliah di mana?"