Rewrite the Memories

Sekar Setyaningrum
Chapter #15

TLM (The Last Memory)

Temanggung, Februari 2004

Abimana Saputra

“Udah putus atau cuma marahan?”

Aku menoleh. Tiba-tiba entah dari mana, Fian sudah mengisi bangku kosong di sebelahku. Ranselnya yang cukup besar dia letakkan di dekat kaki. Dari pintu bis yang terbuka, udara dingin kembali menusuk tulang. Padahal, gerimis yang semalaman membungkus kota Temanggung sudah mulai mereda.

“Dilipet terus mukanya. Kita mau study tour, bukan mau lari dari kenyataan,” katanya lagi. Dia menunjukkan dua bungkus rokok dan sekotak korek api di saku jaketnya. Gila memang ini anak. Gimana kalau ketahuan Pak Dadang? Sudah jelas kami dilarang merokok selama perjalanan.

Aku menggeleng nggak percaya. Level nekat Fian meningkat kalau suasana hatinya sedang kurang baik. Tapi, kalau kuingat-ingat lagi nggak ada sesuatu yang terjadi padanya beberapa hari terakhir. “Jadi suasana hatimu lagi nggak baik, Yan?”

Alih-alih menjawab, Fian justru celingukan. Dia mengedarkan pandangan ke seisi bis–yang baru terisi separuh dan kembali menatapku sambil menunjuk dirinya. Fian menatapku dengan sorot mata yang jika kuterjemahkan berarti: “kamu lagi nanya sama aku?”

“Menurut kamu aku nanya ke siapa, Kampret?!”

“Ke diri kamu sendiri,” jawabnya enteng. Dia mengambil obat anti mabuk dari dalam tas dan memberikan satu untukku. “Selama belasan tahun kenal kamu, aku jadi bisa membaca banyak hal, Putra. Nggak ada hal lain yang bisa bikin kamu BT berhari-hari kalau bukan karena dua hal. Ibumu dan Ayu.”

Tiba-tiba saja wajahku terasa panas. Bukan karena seseorang berhasil membuatku tersipu. Tapi, perasaan sesak yang tiba-tiba kembali memenuhiku. Dua bulan terakhir, hubunganku dan Ayu menjadi semakin renggang. Nggak terhitung lagi berapa kali sudah dia menanyakan hal yang sama kepadaku; aku kenapa?

Tapi, entah kenapa aku nggak bisa menjawabnya. Begitu banyak pengandaian yang muncul di kepala setiap kali Ayu menanyakan itu. Seandainya itu bukan Rafi, seandainya ibu nggak menikah lagi, seandainya sore itu aku datang lebih cepat, dan hal lain yang kembali memicu penyesalanku.

“Kamu dengerin Catatan Hati minggu lalu?” Pertanyaan Fian membuyarkan lamunanku. Bersamaan dengan itu, kalimat yang Ayu ucapkan saat siaran kembali memenuhi ingatan. “Ayu bilang, cinta dan benci itu hanya memiliki jeda setipis benang.”

Iya. Aku mendengar sendiri Ayu mengatakan itu. Dan hatiku sakit sekali.

Bukan karena Ayu atau kalimatnya itu. Tapi, diriku sendiri. Aku yang katanya cinta sama dia, justru mengabaikannya sekian lama. Aku yang selalu beralasan ketika dia menelpon. Aku yang memilih membeli nasi bungkus alih-alih makan bersama Ayu di kantin. Aku yang tiba-tiba bersikap dingin tanpa berani menjelaskan bagaimana perasaanku pada Ayu.

“Belum terlambat. Kalau kamu cemburu ya bilang aja. Ngapain gengsi? Karena itu Rafi?”

Lihat selengkapnya