Rewrite the Memories

Sekar Setyaningrum
Chapter #16

TBR (The Biggest Regret)

Temanggung, Maret 2004

Abimana Saputra

“Kamu belum tahu kalau Ayu nyusul ibunya ke Kalimantan?”

Butuh waktu beberapa detik sampai akhirnya kalimat Fian bisa kucerna. Dari cara berbicara dan panggilan teleponnya yang tiba-tiba, Fian nggak mungkin sedang bercanda. Dia jarang sekali meneleponku pagi-pagi buta. Apalagi ini masih liburan sekolah. Tapi, apa maksudnya mengatakan hal nggak masuk akal itu?

Kulirik kalender yang tergantung di dekat meja telepon. Ini bukan hari ulang tahunku. April juga masih sebulan lagi. Lagi pula, Fian tahu dari mana? Bukanya Ayu baru saja menyabet segudang prestasi? Gimana dia bisa pindah sekolah saat masa depanya sudah di depan mata?

“Nggak usah bercanda, Yan. Kamu nggak takut dimarahi ibumu karena tagihan telepon bengkak cuma buat ngerjain aku?”

Kudengar desahan panjang di seberang telepon. Fian mengumpat beberapa kali. “Kalau nggak inget gimana pucetnya kamu pas nyari Ayu di Jogja waktu itu, aku juga nggak mau buang-buang waktu buat nelepon kamu.”

Sepulang dari Jogja, aku memang belum pernah menghubungi Ayu lagi. Telepon rumahku berhenti menerima panggilan darinya. Nggak ada lagi salam-salam manis yang dia kirimkan untukku lewat kertas atensi. Rencananya, malam minggu ini aku mau menemuinya langsung di Motion Radio. Aku ingin meminta maaf, sekalian memberinya satu hadiah kecil–yang kubeli saat study tour ke Jogja.

Sayangnya, malam minggu belum tiba saat Fian mengabarkan itu kepadaku. Kututup panggilan dari Fian dan mulai mengetikan nomor telepon rumah Ayu. Nihil. Nomor telepon yang pernah Ayu berikan padaku sudah nggak bisa dihubungi lagi. Lalu, aku berinisiatif untuk menghubungi kantor Motion Radio. Aku berharap mereka bisa memberiku sedikit informasi tentang Ayu.

Setelah mengulang beberapa kali, akhirnya seseorang menjawab panggilan teleponku. Pihak Motion membenarkan pengunduran diri Ayu dan meminta maaf karena mereka juga nggak punya kontaknya yang baru.

“Maaf, Putra. Nindi hanya sempat berpamitan secara singkat dengan kami. Dia bahkan tidak mau mengucapkan selamat tinggal kepada pendengar setia Catatan Hati,” jelas Mas Darial yang pagi ini bertugas siaran.

Setelah mengucapkan terima kasih dan menutup sambungan, aku berlari ke kamar. Kuambil kotak kecil di atas lemari, lalu memasukkannya ke dalam ransel. Meskipun kemungkinan bertemu Ayu hari ini sangat kecil, aku masih menaruh harapan. Barangkali Ayu belum berangkat. Atau, kalau pun sudah berangkat aku bisa mengejar dan menemuinya di pelabuhan–seperti yang Cinta lakukan untuk Rangga. Cih!

Kutatap pantulan wajah di dalam cermin. Rambut berantakan, muka bantal, belek yang belum sempat dibersihkan, dan mata sembab setelah bergadang, nggak lagi kupedulikan. Yang kupikirkan saat ini cuma satu: gimana caranya aku bisa tiba di rumah Ayu dengan cepat?

Akhirnya, kuberanikan diri meminjam motor Mas Dion. Tapi, bukannya Mas Dion, aku justru bertemu Rafi. Dia duduk di teras depan sambil mengutak-atik gitarku. Dan ini adalah kali pertama dia berani menyentuh barangku sejak pindah ke rumah ini.

Lihat selengkapnya