Temanggung, Juni 2005
Abimana Saputra
"Masih lama, ya?" bisik Fian yang sejak tadi sudah sibuk menyeka keringat di dahinya. Dia tampak lelah dan hampir menyerah. Tapi, dia sama sekali nggak mengeluh. Untuk kali pertama sepanjang aku mengenalnya, Fian menjadi sangat patuh.
Aku menggeleng. Entahlah. Aku justru berharap salah seorang dari kami pingsan dan barisan dibubarkan. Tapi sepertinya, ada yang lebih penting dari sekadar menanti selesainya pidato. Siswa TKJ yang biasanya paling nggak sabaran, menjadi lebih tenang. Apa yang diharapkan kami saat ini nggak lebih hebat dari angka nilai ujian yang di atas ambang batas. Hanya itu. Sesederhana itu. Nggak peduli berapa kali Pak Kuswoyo–kepala sekolah kami–mengulang kalimatnya. Nggak peduli terik matahari menambah eksotis kulit kami.
"Putra ...." panggil Fian kemudian.
Aku yang sedang sibuk mendengarkan pidato–sambil melamun, menoleh. Dan betapa terkejutnya aku saat melihat darah menetes dari hidung Fian. Tolong koreksi doaku kalau salah. Tapi, aku benar-benar nggak berharap Fian yang pingsan kali ini.
"Fian mimisan, Pak!" teriak Gita yang sudah histeris lebih dulu. Beberapa siswa menoleh ke arah kami. Tapi, sebagian yang lain tampak nggak peduli. Aku yakin mereka nggak sedang mendengarkan pidato. Kalau saja terlihat, pasti doa-doa baik sedang beterbangan di atas langit Kota Temanggung saat ini. Dan yang paling banyak, pastilah di atas kepala siswa bebal sepertiku.
Tanpa pikir panjang, kutarik tangan Fian menjauh dari barisan. "Kita ke UKS, yan."
Fian menurut. Dia mengikuti langkahku melewati barisan siswa hingga tiba di koridor panjang menuju UKS. "Kalau sampai aku kenapa-kenapa, Pak Kuswoyo harus bertanggung jawab!"
Mau nggak mau aku tertawa. Dasar si Kampret! "Kamu nggak akan sampai gegar otak terus lupa ingatan cuma karena mimisan, Bego!"
Fian membersihkan darah yang keluar dari hidungnya di wastafel lalu duduk di ujung tempat tidur. "Iya nggak, sih. Cuma setelah satu tahun penuh perjuangan, masak hari ini kita masih harus disiksa dengan berjemur di tengah terik. Nggak manusiawi banget! Padahal udah punya rencana pura-pura pingsan. Eh, malah mimisan."
Aku tertawa lagi. Kalimat Fian kali ini berhasil membuatku lupa kalau kami sedang gugup menunggu pengumuman ujian. "Sukurin!"
Tapi, Fian benar. Tahun ketiga sekolah benar-benar di luar ekspektasi. Kukira menjadi siswa kelas tiga nggak ada bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya. Tapi, anggapan itu berhasil dipatahkan saat jadwal belajar kami menjadi lebih padat. Jadwal les yang hampir setiap hari, doa bersama, try out, ujian sekolah, hingga ujian nasional mau nggak mau harus kami lalui. Dan setelah semua itu, kami masih harus sabar menanti pengumuman yang akan menentukan nasib kami.