Rewrite the Memories

Sekar Setyaningrum
Chapter #18

DtF (Decline the Forlornness)

Jogjakarta, Agustus 2005

Abimana Saputra

It always seems impossible until it's done. Begitu kata Nelson Mandela. Dan itu juga yang sedang kurasakan saat ini. Siapa yang pernah menyangka jika aku, Abimana Saputra yang pernah hampir putus sekolah, akhirnya bisa berdiri dengan penuh kebanggan di depan gedung Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia?

Nggak ada. Bahkan, aku sama sekali nggak menyangka dengan pencapaianku saat ini. Abimana yang beberapa kali terlambat tiba di sekolah, yang sering kelupaan mengerjakan tugas, dan yang pernah melupakan impiannya, kini tiba di titik balik hidupnya.

Kata Mas Dion, impian bukan sekadar permainan keberuntungan. Setelah melalui banyak drama –yang pada akhirnya kusebut proses, aku akhirnya sadar. Banyak hal yang sudah kulewatkan menuntut untuk dibayar. Impian nggak akan bisa diraih dengan cuma-cuma. Butuh ada usaha dan doa yang menyertai hingga pada akhirnya kita tiba di sana.

Kuhirup aroma pagi dalam-dalam. Akhirnya, setelah memalui proses pendaftaran, seleksi hingga pengumuman, satu tiket menuju tangga impian berhasil kudapatkan.

Dengan bangga, kutatap megahnya gedung berlantai empat di depanku. Dari tempatku berdiri saja, sudah bisa kubayangkan apa isi bangunan itu dan siapa saja musisi-musisi tanah air yang dilahirkan dari tempat ini.

Namun, anganku belum sampai ke situ. Saat ini, aku hanya ingin bisa menciptakan minimal satu lagu selama hidupku. Lalu, lagu itu didengarkan oleh orang banyak, diputar di radio-radio seluruh Indonesia, dengan Abimana Saputra sebagai penciptanya. Wah, hebat sekali mimpiku, ya?

Tiba-tiba, seseorang menyentuh bahuku dan mengaburkan semua angan-angan. "Kamu mahasiswa baru?"

Aku mengangguk. Memang ada ya mahasiswa senior yang menatap gedung fakultas senorak aku?

"Kamu tahu kelas estetika musik di mana?" Anak laki-laki berpenampilan kasual di depanku kembali bertanya. Dari pertanyaan dan mata kuliah yang diambil, pasti dia juga mahasiswa baru.

Aku menggeleng. Wajah anak laki-laki ini sama sekali nggak asing. Tapi, aku juga nggak pernah mengenal dia sebelumnya. Kuulurkan tangan untuk berkenalan dan dia menyambutnya dengan senyuman. "Arka."

"Aku Putra. Masih cukup pagi. Gimana kalau kita cari sambil kenalan sama ruangan-ruangan di gedung ini? Kelasnya baru mulai jam sembilan, kan?" tawarku yang disambut ekspresi antusias di wajah Arka.

"Masih ada satu jam setengah lagi, Putra."

Lihat selengkapnya