Jogjakarta, Agustus 2006
Abimana Saputra
"Lewat radio aku sampaikan. Kerinduan yang lama terpendam."
Terdengar suara sumbang Fian dari beranda kosan. Sudah dua hari dia menginap di sini. Dua hari juga Fian nggak berhenti godain aku. Beberapa kali dia hampir saja berhasil mengirim pesan singkat kepada Ayu tanpa seizinku. Meskipun aku tahu, Fian melakukan itu hanya untuk membuatku sadar jika ada sesuatu yang harus segera aku lakukan.
"Terus mencari biar musim berganti. Radio cerahkan hidupnya. Jika hingga nanti ku tak bisa. Menemukan hatinya ...." sahut Arka yang sudah setengah jam terakhir berada di kamar mandi. Demi apapun, Mas Duta pasti kecewa lagunya dinyanyikan dengan nada asal oleh mereka.
Fian ditambah Arka, ya sudah pasti hasilnya ambyar. Sejak pagi, entah sudah berapa kali lagu Radio yang dibawakan oleh Sheila On7 itu mereka nyanyikan. Bersahut-sahutan. Nggak peduli seberapa mual perutku dan Dandi sejak tadi. Bahkan, sumpalan headset di telinga sama sekali nggak membantu.
Sudah dua bulan sejak kami terakhir pulang ke Temanggung. Dua bulan juga nomor Ayu hanya kusimpan tanpa berani menghubunginya. Bukannya nggak kangen. Cuma aku nggak tahu seperti apa memulai pembicaraan setelah semua yang terjadi. Apakah aku harus meminta maaf? Menanyakan kabar? Atau justru dia sudah tahu jika Nanda memberikan nomornya kepadaku?
Bukan juga nggak pernah mencoba. Aku beberapa kali mengetikkan SMS yang pada akhirnya hanya mengendap di kolom konsep. Seperti pagi ini. Ucapan selamat ulang tahun–yang sangat sederhana–sudah selesai kuketikkan. Tapi, keberanianku selalu menciut setiap kali ingat bagaimana raut wajah Ayu di pendopo Candi Prambanan kala itu.
Fian masuk ke dalam kamar kosan dan mencomot gitarku. "Kamu mau nyesel dua kali?"
Aku yang mengerti arah kalimatnya, menggeleng. Siapa yang mau terperosok dalam kubangan sesal berulang kali?
"Nanda bilang, Ayu belum punya pacar," sambungnya. Dia menatap nakas di sampingku dan terlihat seperti sedang mencari sesuatu. Tangannya terjulur begitu menemukan lintingan tembakau di sana. "Masih ada harapan buat ngerebut hatinya lagi. Meskipun aku nggak tahu, kamu masih punya nyali apa enggak."
Entah gimana aku harus menjelaskan perasaan ini. Ada rasa lega yang menyelinap diam-diam saat Fian menyampaikan itu. Tapi, aku juga sedih di saat bersamaan. Aku nggak tahu apa yang benar-benar kuinginkan saat ini.
"Ada dua kemungkinan kenapa dia belum juga pacaran." Fian siap dengan teorinya. Dari mulutnya, asap bakaran tembakau mengepul. "Pertama, dia masih nungguin kamu atau–"