Rewrite the Memories

Sekar Setyaningrum
Chapter #21

Renjana

Jakarta, Agustus 2018

Anindita Ayu Pratista

"Mbak cuti mulai tanggal berapa?"

Pertanyaan Fina berhasil membuat pandanganku terperangkap pada kalender biru tua di atas meja. Jemariku menyusuri deretnya, mencoba menemukan lingkaran merah di salah satu angkanya. Tapi, aku justru menemukan tanggal yang sudah kulupakan beberapa tahun belakangan. 21 Agustus.

"Dua puluh lima, Fin. Empat hari lagi. Gimana bisa handle semuanya?"

Aku mengerjapkan mata, berusaha agar bisa kembali fokus pada naskah berita yang harus diterbitkan besok. Sementara, kulihat Fina mengangguk antusias.

"Pak Indra ngasih Mbak Nindi berapa berita buat diedit?" tanya Fina lagi. Kali ini, dia membawakanku segelas kopi hitam sebelum kembali ke meja kerjanya.

Aku meringis. "Lima belas. Tapi, aku udah kerjain empat kok. Targetku bisa kelar delapan sebelum cuti."

Ada ritual wajib setiap tahun yang aku lakukan menjelang Agustus hingga September tiba. Aku selalu meminta Pak Indra–pimpinan redaksi Batavia News–untuk mengalihkan pekerjaan editor kepadaku. Lalu, aku akan mulai sibuk mengedit, memeriksa akurasi berita, hingga terjun ke lapangan untuk menguji kelayakan informasinya. Dengan begitu, aku akan lupa jika Agustus pernah menjadi bulan yang teramat istimewa. Sayangnya, tahun ini Fina-lah yang harus menanggung tindakan impulsifku.

"Mbak, ada yang perlu aku bantu lagi untuk berita yang akan terbit dua sampai tiga hari ke depan?"

Aku menggeleng. Aku sudah menyelesaikan draft berita tentang kehamilan Raisha, calon istri Yama Carlos, hingga berita pertunangan Priyanca Chopra dan Nick Jonas.

"Aku sudah menuliskan semua yang kamu perlukan untuk rapat dengan manager artis pekan depan. Untuk terbitan bulan depan, aku udah bikin konsepnya. Pastikan masuk ke bagian lay out sebelum akhir bulan. Kamu yakin bisa beresin ini, Fin?"

Fina mengangguk. "Nggak masalah, Mbak. Nggak biasanya Mbak Nindi ngambil cuti bulan Agustus. Kalau itu terjadi, berarti sangat penting. Kehormatan buat aku bisa handle kerjaan Mbak Nindi."

Sebenarnya, cuti dadakanku kali ini bukan untuk alasan yang sepenting itu.

Dua hari lalu, tepat saat aku memutuskan untuk berhenti menuliskan kembali catatan milik Putra, ibu menghubungiku. Ibu bilang, sudah saatnya aku pulang. Jika tidak untuk seterusnya, paling tidak untuk sementara. Dan setelah berdebat cukup panjang, akhirnya aku mengalah. Aku akan pulang, kembali ke tempat di mana cerita ini pernah bermula. Jika beruntung, mungkin aku akan menyelesaikan kisah ini di sana. Kalau pun tidak, aku berharap bisa menjadi lebih lega.

Setelah sepuluh tahun berkubang luka, bukankah menjadi lebih lega saja sudah cukup?

Lihat selengkapnya