Jakarta, Agustus 2018
Anindita Ayu Pratista
"Kapan kamu pulang? Apa perantauan udah bikin kamu ngerasa begitu nyaman?"
Rencana kepulanganku, memunculkan kembali ingatan tentang pertanyaan Putra di hari terakhir hidupnya. Sebenarnya, ini adalah pertanyaan yang sering dia lontarkan sejak enam bulan sebelumnya. Tapi, aku masih belum bisa memberinya jawaban pasti. Hingga pada akhirnya, Tuhan tidak memberiku kesempatan untuk menjawab pertanyaan itu lagi.
Kepergian Putra seperti tamparan keras bagiku. Penyesalan tidak henti mencemoohku. Kenapa aku tidak pernah pulang? Apakah aku terlalu sibuk mengejar ambisi? Apakah waktu yang kuhabiskan untuk memburu berita dan mengumpulkan data menjadi alasan Tuhan merenggutnya dariku?
Padahal, jarak Jakarta-Jogja atau Jakarta-Temanggung tidak seberapa. Aku bisa menjangkaunya hanya dengan delapan jam perjalanan menggunakan kereta. Tapi, aku terus menundanya hingga kesempatan itu hilang begitu saja.
"Besok, aku pulang. Menemuimu," lirihku diiringi tetesan air dari sudut mata. Kurapikan satu demi satu pakaian dan memasukannya ke dalam ransel hitam lusuhku. "Aku pengin ketemu kamu, ibu, dan semua teman-teman kita yang katamu sudah rindu. Bisakah?"
Lagi-lagi, Putra tidak menjawab pertanyaanku.
Aku membuka kotak kecil di laci meja dan mengambil isinya. Kulingkarkan gelang kecil bertuliskan inisial AP di pergelangan tanganku. Seharusnya, aku lebih menghargai apa-apa yang pernah dia berikan padaku. Tapi nyatanya, sepuluh tahun sudah kubiarkan gelang itu teronggok begitu saja di tempatnya.
"Setelah sepuluh tahun berlalu, bolehkan aku merasa sedikit lebih lega, Putra?"
Kutatap lamat-lamat gelang berbahan karet yang kini melingkar di pergelangan kiriku. Lalu membayangkan bagaimana wajah Putra saat membeli benda ini di Jogja kala itu. Apakah dia memikirkanku saat membelikan ini?
Kamarku kembali hening. Dari ruang depan, lagu yang sudah lama tidak kuputar kembali mengisi kekosongan. Sayup-sayup terdengar suara Naina mengisi sepinya malam. Lewat lagu Cinta pertama yang Putra ciptakan, pesan itu sampai hingga ke hati. Ada haru dan rindu yang menyusup di relung dada. Putra, aku hampir saja lupa kalau luka ini sudah mengukungku sangat lama.