Jakarta, Agustus 2018
Anindita Ayu Pratista
"Pulang ke kampung halaman?"
Aku menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya sedang menatapku sembari tersenyum. Di punggung rentanya, sebuah ransel cukup besar menggantung. Ransel yang sama lusuhnya dengan miliku itu, dia letakan di bagasi. Lalu, dia duduk di sampingku tanpa bertanya apa-apa lagi.
Dengan sopan, aku bergeser. Sudah lama sekali aku sukar berbasa-basi. Biasanya, aku akan langsung memasang headset dan sibuk dengan ponselku begitu tiba di kereta. Tapi, pagi ini aku memilih untuk tidak melakukannya. Aku akan mencoba menuliskan kembali buku catatan Putra. Mungkin saja, suasana baru bisa membuat pikiranku lebih terbuka.
"Hari ini terasa sepi." Wanita itu berbicara sambil mencari sesuatu dari saku jaketnya. Lalu kembali duduk tegak setelah sebuah tasbih kayu tua berhasil dia temukan. "Biasanya, kereta akan penuh setiap akhir pekan. Tapi, sepertinya tidak hari ini."
Aku mengangguk. Kulihat stasiun kereta pagi ini memang tidak sepadat biasanya. Aku menoleh ke belakang, barangkali wanita ini bersama seseorang. Tapi, aku tidak menemukan siapapun yang terlihat bersamanya. "Ibu sendirian?"
Wanita di sampingku hanya tersenyum. Bukanya menjawab, tangan keriputnya justru kembali sibuk mencari sesuatu. Lalu, dia menunjukan sebuah foto lawas berlatar tugu monas dan terkekeh pelan. "Aku tidak pernah sendirian. Mereka selalu menemani setiap perjalanan."
Butuh waktu beberapa saat hingga aku sadar jika perempuan muda belia yang tengah menggendong bayi dalam foto itu adalah wanita di sampingku. Wajahnya cantik terawat, rambutnya belum ditumbuhi uban, dan garis-garis penanda usia di wajahnya sama sekali belum terlihat.
Tanpa sadar, aku mulai tersenyum. Dalam foto itu, dia terlihat bahagia. "Ini ibu waktu masih muda?"
Dia mengangguk. "Dan ini adalah putri dan suamiku yang telah lama tiada."
Tubuhku sempurna membeku. Rasa sakit itu kembali menghujam relung dadaku. Tidak bisa kubayangkan berapa banyak hari yang sudah dia lalui dalam penderitaan. Tiba-tiba, pandanganku menjadi buram. Kualihkan pandangan dari foto tua itu ke jendela lebar di samping kanan.
Tiba-tiba, aku merasakan seseorang menyentuh pundakku. "Rupanya, kamu menanggung luka yang sama."
Aku memandangnya, memastikan jika dia masih berbicara denganku. Dan benar. Wanita itu memandangku dengan tatapan teduh menguatkan. Sorot matanya membuatku urung mengatakan tidak. Nyatanya, aku memang pernah kehilangan dua orang yang teramat berharga. Ayah dan Putra.