Rewrite the Memories

Sekar Setyaningrum
Chapter #24

Melankolia

Temanggung, Agustus 2018

Anindita Ayu Pratista

 

Aku mungkin tidak bisa lagi menyentuh dan bercengkrama denganya. Apalagi mengharap kehadirannya. Tapi, kenangan tentangnya akan abadi di hati dan ingatanku. Tanpa masa kadaluarsa. Tanpa batasan waktu. Selamanya.

Bermula dari komentar Fian di Twitter beberapa hari lalu, aku akhirnya menemukan ending untuk novel ini. Sebenarnya, tidak hanya novel ini. Tapi, juga akhir dari sepuluh tahun panjang yang kulalui dalam kukungan luka.

Sejak bertemu dengan Bu Arini, pikiranku menjadi lebih terbuka. Untuk kali pertama, aku bisa mendengar orang lain menyebut nama Putra tanpa harus banyak terluka. Dan jika dipikirkan lagi, aku sudah melewatkan sepuluh tahun hidupku dengan sia-sia.

Lalu, tadi malam ibu memanjakanku dengan cerita-cerita indah masa kecilku. Tentang ayah. Tentang rumah ini. Tentang prestasi Mahesa di bidang olahraga. Hingga harga tembakau yang menurun drastis. Tapi, tidak sekali pun ibu menyinggung soal Putra. Padahal, aku tahu ibu ingin sekali membahas soal ini denganku. Jika tidak hari ini, mungkin besok, atau besoknya lagi.

"Mbak mau ziarah ke makam ayah kapan?" tanya Mahesa tepat saat aku baru saja menyelesaikan bab terakhir novelku. "Lagi cuti masih aja ngurusin kerjaan?"

Aku menoleh dan menemukannya sedang berdiri di ambang pintu kamar. "Nanti sore, Dek. Dan ini bukan kerjaan."

Mahesa berjalan mendekat dan menatap layar laptopku dengan penuh selidik. Sekilas, aku bisa melihat wajah ayah tercetak di sana. Seketika, kerinduan itu merebak. Ada rasa bersalah yang menggantung di sudut hati. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengunjungi pusara ayah. Aku terlalu sibuk mengejar mimpi dan menyendiri hingga lupa jika masih punya tempat paling nyaman untuk kembali.

"Itu buku harian Mas Putra," kata Mahesa saat matanya menangkap buku bersampul Doraemon kumal di atas meja. "Mas Dion pernah ngubungin Mahesa tahun lalu. Pas lagi nganterin mahasiswa daftar olimpiade panahan di Jakarta. Katanya mau nitipin ini buat Mbak Ayu. Tapi, Mahesa nggak mau."

Aku menutup laptop yang menampilkan draft awal novelku dan menatap Mahesa tajam. "Sejak kapan kamu kenal Mas Dion?"

Bukanya menjawab pertanyaanku, Mahesa justru berjalan menuju lemari tua di sudut ruangan. Sebenarnya, lemari kayu itu sudah berhasil mencuri perhatianku sejak tiba di sini kemarin sore. Tapi, aku belum sempat membukanya sama sekali.

"Lihat foto Mas Putra dan kakaknya di sini," kata Mahesa sembari menunjukan foto usang yang tergantung di pintu lemari. Benar. Dan itu adalah satu-satunya foto Putra yang masih tersisa. Putra memberikan foto itu saat berkunjung ke rumah ini belasan tahun lalu. Putra bilang, itu satu-satunya foto diri yang dia miliki. Lalu, mataku tertuju pada sebuah catatan kecil tertempel di bagian bawah foto itu: Putra & Mas Dion.

Aku mengerjapkan mata. Berharap perubahan ekspresiku tidak tertangkap oleh mata Mahesa. "Trus kok Mas Dion tahu sama kamu?"

Tiba-tiba, aroma kopi yang sangat khas tertangkap indra penciumanku. Ibu muncul dari pintu dengan dua cangkir kopi di tangannya. "Kan, Fian beberapa kali main ke sini. Pas kapan itu ya, le, Fian katanya mau naik Sumbing bareng si Pur. Kamu inget si Pur temenmu pas SD itu?"

Lihat selengkapnya