Temanggung, Agustus 2018
Anindita Ayu Pratista
"Setelah sekian lama, kenapa kita harus bertemu di sini?" tanyaku entah pada siapa. Fian yang tengah memegang bahuku, atau nisan tanpa nama di depanku.
Beberapa saat berlalu dan aku hanya mendengar desau angin sebagai jawaban. Tapi, aku tidak ingin menangis. Sungguh. Aku hanya merasa angin membuat mataku sangat pedih. Dan aku sedikit menyesal. Seharusnya, aku langsung pulang saat Fian mengabarkan kematian Putra. Seharusnya, aku ada di samping Putra di saat terakhirnya. Seharusnya, aku mengantarkan Putra ke rumah barunya.
Aku menatap langit yang tampak lebih cerah hari ini. Bukan karena birunya membuatku terpesona. Tapi, demi menahan serbuan sesak yang membuat mataku kembali basah. Sementara, kudengar Fian menghela napas panjang.
"Aku sudah tidak menyesali kepergianmu, Putra. Sungguh," kataku lirih. Kurasakan tangan Fian meremas lembut bahuku. "Seharusnya, aku mendoakanmu, membiarkanmu tenang di sisi Tuhan. Bukan malah terus meratapi kepergianmu dan berharap kamu masih ada. Maafin aku, ya."
Aku akhirnya bisa tersenyum. Bukan agar terlihat baik-baik saja. Tapi, karena aku memang ingin melakukannya. Rasanya sudah lama sekali tidak merasa selega ini.
Kualihkan tatapanku ke wajah Fian. "Makasih udah selalu ada buat dia."
Fian mengangguk dan tersenyum. “And in the end it is not the years in your life that count, it’s the life in your years," gumam Fian tanpa mengalihkan tatapannya dari pusara kering di depan kami. Tangan kirinya sibuk memainkan ranting kering di dekat kaki. Sementara, tangan kanannya tidak melepaskan bahuku barang sebentar.
Aku ikut mengangguk, membenarkan kutipan kalimat Abraham Lincoln yang barusan Fian katakan. Hidup Putra memang lebih singkat dari pada yang kami miliki. Tapi, dia selalu melakukan yang terbaik selama hidupnya. "Putra orang baik. Tuhan jauh lebih menyayanginya ketimbang kita. Aku udah janji nggak mau nangis lagi," kataku sambil menyeka ujung mata.
"Kamu udah melakukan yang terbaik, Ayu."
"Dan terima kasih selalu ada buat aku."
"I'm all ears, Ayu."
Fian berdiri, mengambil beberapa tangkai mawar dan menabur kelopaknya di atas pusara Putra. Dia terus bercerita. Tentang hari-hari yang Putra lalui setelah aku pindah ke Banjarmasin dan bagaimana dia melaluinya. "Tahu nggak kalau yang ngirim ucapan selamat ulang tahun ke kamu waktu itu aku?"
Aku tertawa. "Ya. Aku udah baca di buku catatannya."