Rewrite the Memories

Sekar Setyaningrum
Chapter #2

MoS (Memory of Serendipity)

Temanggung, Juni 2002

Abimana Saputra

“Sudah hari ke empat, masak masih belum hafal nama Kakak Pembimbing kalian? Cari lagi! Kalian belum boleh istirahat kalau semua tanda tangan belum terkumpul!” seru salah seorang kakak kelas–yang kuketahui bernama Andini–kepada beberapa siswi yang tengah berjuang melengkapi form tanda tangan.

Aku benci senioritas.

Seharusnya, sekolah swasta sekelas ini bisa menyusun jadwal MOS yang lebih berguna dari pada meminta para siswa baru pergi ke sekolah dengan atribut yang mereka sebut lucu.

Mau tahu hal konyol apa yang sudah dilakukan seorang Abimana Saputra selama empat hari terakhir?

Hari pertama, kami dibagi menjadi beberapa kelompok kelas sementara. Aku masuk ke kelas C. Peraturan untuk semua kelompok terbilang sama, kecuali warna karton topi. Atribut yang harus kami kenakan selama empat hari terakhir antara lain: name tag dari karton warna-warni, topi berbentuk benda yang berkaitan dengan cita-cita, tas dari karung goni, sabuk berbahan tali raffia, dan atribut lain yang nggak kalah menjengkelkan.

Selain itu, kami juga dibebani dengan tugas penuh misteri. Selain istilah ‘pocong hijau’, ‘bantal kedelai’, ‘sayur kamu banget’, dan ‘keripik cacar’ yang bersifat fardu ain–karena jika satu siswa tidak memenuhi tugas, seluruh anggota kelompok akan kena hukuman, kami juga dibebani dengan permainan kekompakan yang membosankan.

Namun, karena fardu ain, aku tetap melakukan segala omong kosong itu. Padahal, kenapa masa orientasi nggak diisi dengan membaca buku di perpustakaan, menggambar peta sekolah, atau permainan lain yang bisa membuat siswa baru lebih mengenal sekolah ini?

Setelah melalui hari-hari penuh misteri yang melelahkan, kami akhirnya tiba di hari terakhir masa orientasi. Kukira, hari ini kami hanya akan dijejali materi seputar lingkungan sekolah atau memainkan sesuatu untuk menambah keakraban. Nyatanya, kami masih harus menyelesaikan misi dengan segudang caci maki.

Mencari ‘tanda tangan keramat’, begitu para pembimbing MOS menyebutnya. Kali ini, kami diminta untuk melengkapi kolom tanda tangan empat puluh nama kakak kelas sesuai daftar yang ada. Dari empat puluh nama dalam daftar sialan itu, ada beberapa yang meminta kami memenuhi syarat dari mereka terlebih dahulu. Beruntungnya, aku hanya diminta push up dan menyatakan cinta kepada Andini. Nggak kebayang kalau aku harus membaca atau membuat puisi cinta untuknya.

Setengah jam terakhir, aku sibuk mencari Kak Yudi, salah satu anggota OSIS yang belum menandatangani daftar milikku. Aku sudah mencarinya hampir ke setiap sudut sekolah; kantin, perpustakaan, laboratorium musik, bahkan musala. Tapi, yang kutemukan hanya wajah lelah para siswa baru.

Lihat selengkapnya