Rewrite the Memories

Sekar Setyaningrum
Chapter #4

SMS (Song for My Sadness)

Temanggung, Agustus 2002

Abimana Saputra

“Dikarenakan seluruh Bapak dan Ibu Guru ada rapat dadakan, kalian boleh belajar di perpustakaan atau mengerjakan tugas yang akan dibagikan kepada masing-masing ketua kelas.”

Belum selesai Pak Tejo mengumumkan agenda hari ini, sudah kudengar bisik-bisik dari barisan siswa–termasuk Fian. Dia beberapa kali menyenggol lenganku sambil tersenyum puas. “Ngapain kita hari ini, Putra? Main game board? Nongkrong di kantin Bu Sum? Apa belajar teori pacaran sama aku?”

“Pssst!” desisku kesal. Kenapa juga Fian nyinggung soal pacaran saat kami dibariskan di tengah terik ini. Lagi pula, dari pada main game board atau nongkrong di kantin Bu Sum–yang ujung-ujungnya cuma nemenin Fian main nitendo, aku lebih memilih menghabiskan uang sakuku untuk pergi ke wartel dan menelepon Ayu.

Ayu nggak masuk sekolah sejak pertemuan terakhir kami siang itu. Sudah dua hari, tapi aku belum mendapatkan informasi apapun tentangnya. Bodohnya, aku nggak langsung menghubunginya hari itu juga.

“Gimana kalau nonton basket?” tanya Fian lagi. Untuk yang ini, boleh juga, sih. Sebab, kalau Fian yang memberi ide, itu artinya aku nggak perlu mikirin soal tugas dari guru.

“Boleh.” Aku kembali fokus mendengarkan petuah yang Pak Tejo tuturkan sampai akhirnya barisan dibubarkan. Tanpa harus menunggu lama, halaman sekolah berubah riuh. Semua siswa seolah siap mengambil posisi masing-masing. Beberapa anak perempuan tampak berkerumun dan memamerkan lipgloss mereka. Ada juga yang langsung lari menuju lapangan dan siap jadi tim jerit kelompok basket favorit.

Sementara barisan kelasku–yang didominasi laki-laki, ikut bergegas menuju lapangan basket. Termasuk aku dan Fian. Gita yang merupakan siswi satu-satunya di kelas kami menghadang rombongan Dido dan berceloteh riang, “Gimana kalau kita taruhan?”

Yang lainnya membalas nggak kalah antusias. “Kalau kamu kalah taruhan, kamu harus pacaran sama salah satu di antara kami ya, Git.”

 “Lah, sejak kapan Gita jadi cewek?” celetuk Fian yang disambut dengan gelak tawa teman-teman TKJ 2 lainnya. Tapi, bukan Gita namanya kalau setelah itu nggak ada yang mengaduh kesakitan. Sebuah tinju cukup keras melayang di lengan kanan Fian. Nggak sia-sia Pak Tejo memilih Gita menjadi ketua kelas TKJ 2. Selain karena dia siswi yang tangguh, nggak ada satu pun dari kami yang berani melawannya–karena lagi-lagi dia seorang gadis.

“Emang harus kayak siapa biar bisa disebut cewek?” tanya Gita setelah puas melampiaskan kekesalannya kepada Fian.

“Nanda dan kawan-kawan, dong. Mereka sih geng elite. Oh iya, Ayu juga,” jawab Naren nggak mau tanggung-tanggung meledek Gita.

“Wah, kalau Ayu udah ada yang punya. Jangan.” Fian ikut menimpali. Tanganku sudah terkepal, siap menambah memar di lengan kanannya.

Lihat selengkapnya