Temanggung, Agustus 2002
Abimana Saputra
“Ibu mau nikah lagi, Putra.”
Berita yang Mas Dion sampaikan kepadaku tadi malam, berbuntut panjang. Setelah menghabiskan dua batang rokok miliknya–yang tentu saja kudapat secara diam-diam, pagi ini aku bangun kesiangan. Sialnya, aku baru tahu jika bis yang lewat kota hanya sampai pukul 06.30 pagi. Jadi, mau nggak mau aku harus siap satu angkot dengan ibu-ibu yang berangkat ke pasar.
Sebenarnya, berita ibu mau menikah lagi ini bukan yang pertama. Ini adalah pernikahan ke empatnya setelah kepergian ayah. Tapi, melihat sejarah kelam pernikahan dengan suami sebelumnya, aku nggak yakin kalau kali ini akan lebih baik.
Tadi malam, Mas Dion juga menyampaikan tentang pernikahannya yang ditunda karena hal ini. Setelah membiarkan Mas Dion membesarkanku seorang diri, membiayai semua kebutuhan kami, bagaimana ibu juga tega merusak hari bahagianya?
Nggak cukup semua itu memicu kekesalanku, selama perjalanan dari terminal ke kompleks sekolahku, ibu-ibu di dalam angkot terus mengobrol. Mulai dari hal remeh temeh seperti harga bawang merah, cabai, sayur mayur, hingga bahasan tentang nilai akademis anak-anak nggak luput jadi perbincangan.
“Anakku kemarin entuk juara di kabupaten. Lah iki masuk SMA nggak nganggo tes. Lewat jalur khusus[1],” kata ibu-ibu bertubuh gempal dan beraroma menyengat yang duduk di kursi depan. Tadi, dia bilang takut muntah kalau harus duduk menghadap samping. Padahal aroma parfumnya yang menyengat berhasil membuatku–yang jarang sekali mabuk kendaraan, menahan mual.
Supir angkot dan dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangnya manggut-manggut. “Seneng yo, Bu, nek anake pinter. Lah iki bocah jam semene lagi mangkat ki po ora telat?[2]”
Aku yang merasa menjadi sorotan ibu-ibu ini, langsung menyumpal telinga. Kupakai headset dan menyalakan walkman kesayanganku. Dari kaset tua peninggalan ayah, terdengar suara merdu Vina Panduwinata.
Persetan dengan mereka yang mungkin masih terus membicarakanku. Lagi pula apa gunanya menceritakan tentang prestasi anaknya di angkot? Apakah semua orang yang ada di angkot ini peduli?
Supir angkot menurunkanku tepat di depan gerbang sekolah. Begitu berhasil keluar dari angkot, aku mencondongkan tubuh ke got untuk mengosongkan isi perut yang sejak tadi mendesak keluar.
“Sakit, Nak?” tanya Pak Widi, penjaga gerbang depan yang wajahnya sangat teduh. Dia membuka gerbang dan memberiku air mineral kemasan.
Aku mengenggak habis isi botol dan mengucapkan terima kasih. Tapi, tepat saat Pak Widi memintaku mengisi data siswa terlambat, seseorang berhasil mencuri perhatian. Ayu tengah berdiri di depan pos penjaga sambil memainkan kakinya. Dia tampak murung dan nggak bersemangat, sangat berbeda dengan terakhir kali kami bertemu.
“Nggak biasanya dia terlambat. Katanya kemarin ayahnya baru saja meninggal dunia,” kata Pak Widi–yang kemungkinan sadar jika aku sedang memperhatikan Ayu. “Kalau kamu, sih, emang udah beberapa kali terlambat.”
Setelah mendengar penuturan Pak Widi, aku langsung membayangkan Ayu menyikat lantai kamar mandi yang baunya lebih memuakkan ketimbang parfum ibu-ibu di angkot tadi. Belum lagi dia harus kehilangan waktu belajarnya sampai jam istirahat pertama tiba.
Lima menit kemudian, Pak Widi memberiku selembar ‘tiket’ masuk yang kemudian harus kubawa ke ruang BK untuk menerima hukuman sebelum akhirnya diperbolehkan masuk kelas. “Punya Ayu sekalian, Pak.”