Temanggung, September 2002
Abimana Saputra
“PUTRA! WOY!”
Aku sedang mengencangkan senar gitar di depan kelas saat suara melengking Fian menyapu pendengaran. Aku, Dido, dan Julian refleks menatap ke arah sumber suara. Kami menatapnya heran. Butiran keringat membasahi pelipisnya. Kulitnya yang agak gelap terlihat mengilap.
“Ngagetne wong[1]!” seru Dido jengkel. Pembicaraan kami tentang rencana pembentukan band kelas otomatis terhenti. “Ada apa, sih?”
“Putra, kita ke kantin sekarang, yuk!” sergah Fian dengan raut wajah yang terlihat panik. Dia menarik pergelangan tanganku hingga posisiku kini sempurna berdiri.
Akhirnya, aku mengalah. Kuberikan gitar kepada Dido dan mulai mengikuti langkah Fian menuju kantin. Nggak biasanya Fian bersikap seperti ini. Terakhir kali dia terlihat panik saat kedapatan merokok sama Pak Dadang di minggu kedua sekolah. “Mita sama Nanda ribut gara-gara kamu kasih harapan palsu?”
Fian menggeleng. “Ini soal Ayu, Kolor Ijo!”
Aku menghentikan langkah dan menatap Fian nggak mengerti. Apa urusan Ayu denganku sampai Fian bersikap seperti ini? Ayu kepergok pacaran? Ayu sakit?
“Ayu kenapa?”
“Kamu tahu Rafi anak TKJ 1?”
Kali ini aku hanya mengangguk tanpa berniat menyela penjelasannya. Sebenarnya, aku nggak benar-benar kenal dengan Rafi. Kami hanya sering bertemu di kantin Bu Sum saat jam istirahat. Selebihnya, aku nggak pernah mengenalnya secara personal. Lalu, apa hubungannya si pembuat onar itu dengan Ayu?
“Dia merobek buku tugas akuntansi Ayu dan meremas kertasnya sampai nggak berbentuk. Rama yang mencoba menengahi mereka, justru kena pukulan Rafi. Mereka sekarang sedang di kantin,” jelas Fian dengan intonasi suara yang lebih tenang. Sejak tadi, aku sama sekali nggak memikirkan kemungkinan ini.
Di setiap angkatan, pasti ada satu murid yang masuk dalam spesies langka. Jika Redo dan Bima adalah premannya kelas dua dan tiga, Rafi merupakan perwakilan angkatan kami. Sepanjang yang kuingat, Rafi sudah tiga kali berkelahi dengan rekan seangkatannya satu bulan terakhir. Orang tuanya juga beberapa kali dipanggil oleh pihak sekolah.
Dengan langkah lebar aku berjalan ke kantin meninggalkan Fian yang terpaku. Di bangku sudut kantin, Ayu tengah menunduk memandangi buku catatannya. Sementara di sebelahnya, Mita dan Nanda mencoba menghibur. Ketiganya terlihat kesal dan nggak berdaya. Sayangnya, aku nggak menemukan sosok Rafi di manapun.
“Kami bantu ngerjain ulang gimana, Yu?” tanya Mita dengan nada khawatir.
Tawaran itu disambut gelengan lemah Ayu. “Nggak akan cukup waktunya, Ta. Jam istirahat cuma tinggal lima menit. Gimana caranya kita nyelesein jurnal ini? belum lagi bikin garis-garisnya.”
“Nanti biar kita sama Rama yang jelasin ke Bu Saidah ya, Yu. Emang dasar tu si Rafi. Kalau suka ya bilang aja. Ngapain ngerebut perhatian kamu dengan bikin kesel. Kan bukannya simpati malah sebel.”