Temanggung, Nopember 2002
Abimana Saputra
Sejak mengenal Ayu, hidupku dipenuhi dengan kali pertama. Banyak banget hal-hal nggak aku sadari, mulai berubah.
Dua bulan terakhir, hubungan kami memang sudah mulai ada perkembangan. Sayangnya, Ayu selalu menanggapi ungkapan perasaanku hanya sebagai gurauan. Memang, sih, aku nggak pernah mengatakannya secara langsung. Ya, gimana. Aku sama Ayu itu banyak banget bedanya. Dan aku juga banyak mindernya. Masa iya Ayu mau pacaran sama orang kayak aku?
Belakangan, kami sering menghabiskan waktu bersama. Banyak hal-hal yang secara tiba-tiba menjadi kebiasaan. Setiap pagi, aku akan menunggunya di halte depan kompleks sekolah kami. Jam berangkat sekolahku pun menjadi lebih pagi. Ritmenya: Aku akan menunggu Ayu di halte dan kami akan berjalan ke sekolah bersama sambil membicarakan banyak hal.
Aku menyukai saat di mana Ayu turun dari bis dan melambaikan tangannya ke arahku. Atau saat dia menceritakan bagaimana harinya yang dipenuhi tugas akuntansi. Juga saat Ayu tertawa mendengar candaan Fian–yang entah sudah berapa kali diulang-ulang.
Kadang, kami menghabiskan jam istirahat untuk makan di kantin Bu Sum. Kami nggak cuma berdua. Fian, Raka, Mita dan teman-teman kami yang lain sering ikut bergabung.
Rutinitas meninggalkan makan berdua ini aku lakukan sejak banyak celetukan ngawur dari teman-teman kelas seperti: “Cie setelah dicengin Stefy sekarang malah deketin Ayu.”, “Kalau Putra sampai jadian sama Ayu, aku berhenti nonton sinetron kolosal dan serius belajar.”, Atau “Kalian nggak bosen temenan terus?”. Dan aku takut ini justru membuat Ayu merasa nggak nyaman berada di sekitarku. Jadi, aku sengaja bergabung dengan mereka setiap jam istirahat tiba.
Namun, sudah tiga hari ini kami nggak ketemu. Aku memutuskan untuk berhenti sekolah dan membantu Mas Dion mengurus empangnya. Ini bukan keputusan yang datang tiba-tiba. Aku sudah memikirkannya sejak kudengar rencana pernikahan ibu. Jadi setelah penerimaan rapor caturwulan pertama kemarin–yang menampilkan hasil cukup baik, aku memutuskan berhenti.
Sebenarnya, Mas Dion menentangku dengan keras. Tapi, aku nggak tega lihat Mas Dion harus bekerja sendirian sementara hari pernihakannya juga harus dimundurkan.
“Aku tu ikhlas ngelakuin ini semua, Dek. Kamu nggak perlu ngorbanin sekolah kamu buat bantuin aku,” kata Mas Dion di sela-sela kesibukan kami memberi makan ikan di kolam belakang rumah.
Aku mencuci tanganku yang berbau amis dan duduk di samping Mas Dion. “Nggak papa, Mas. Kasian Mbak Nanik udah lama nunggu. Masak masih harus nunggu aku dua tahun lebih lagi.”
Mas Dion memegang pundakku. “Kata almarhum ayah, beliau nggak bisa ngasih warisan ke kita dalam bentuk apapun selain ilmu. Sekarang, ayah udah nggak ada. Ya tugasku memastikan kamu bisa sekolah sampai selesai, Dek.”
“Ngapain juga, sih, ibu minta aku sekolah di Bakti Pertiwi? Demi gengsi?”
Mas Dion hanya tertawa menanggapi gerutuanku. “Ya kan setiap orang tua mau yang terbaik buat anaknya.”
“Assalamualaikuuum!”
Tiba-tiba, suara cempreng Fian terdengar dari dalam rumah. Nggak lama kemudian, Dido dan Julian tampak menyusul di belakang. Tapi, yang lebih mengejutkan justru adalah sosok yang datang belakangan.