Temanggung, Desember 2002
Abimana Saputra
Kata banyak orang, buah dari perpisahan adalah kegagalan membesarkan anak. Tapi, Mas Dion berhasil mematahkan anggapan itu. Ibu dan Ayah memang nggak pernah bercerai. Ayah meninggal akibat sebuah kecelakaan saat aku masih dalam kandungan. Sejak saat itu, Mas Dion hidup dalam pengabaian. Ibu kehilangan pegangan. Untungnya–aku nggak tahu harus menyebut ini keberuntungan atau justru sebaliknya, ibu membiarkanku lahir.
Saat itu, Mas Dion berumur tujuh tahun. Dia bilang, tangisan pertamaku adalah ganti dari sesaknya kehilangan. Sejak saat itu juga, mentalnya ditempa untuk menjadi lebih dewasa. Jika ada pria yang sikapnya lebih dewasa dari umur sebenarnya, maka Mas Dion-lah orangnya. Hampir semua keluarga membicarakan pengorbanan Mas Dion. Karena itu jugalah, aku nggak berani membantahnya.
Aku pernah bertanya kepada Mas Dion. Kenapa dia memilih tetap tinggal di rumah ini, membesarkanku, sementara kesempatan untuk lepas dari belenggu ini jelas ada. Dan aku ingat sekali bagaimana dia menjawab.
“Jadi anak laki-laki itu, harus punya mimpi, punya ambisi. Jangan hanya hidup untuk hidup. Kalau aku nggak bisa nyenengin siapa pun, paling nggak aku bisa nyenengin diri sendiri.”
Itu adalah kalimat Mas Dion yang masih kuingat hingga saat ini. Jika bukan karenanya, mungkin aku sudah lama berhenti sekolah dan jadi preman terminal–mengingat lingkungan pergaulanku sangat mendukung untuk itu.
Dan satu bulan lalu, tepat saat aku mengantar Ayu pulang seusai siaran, dia mengatakan hal yang sama.
“Putra, apa impianmu?” tanya Ayu saat kami mulai memasuki jalanan terjal menuju rumahnya yang berada di kaki Gunung Sumbing. “Kalau aku dikasih kesempatan buat ngelanjutin pendidikan, aku pengin banget jadi jurnalis.”
Aku mengabaikan pertanyaannya. “Kenapa jurnalis?”
Ayu mencengkeram jaketku saat jalanan mulai menanjak. Jantungku nggak berhenti memacu. Ada getaran asing yang memenuhi dada dan membuat mulas perutku saat jemari Ayu kian erat berpegangan. Sial! Tadi Ayu menggerutu mengeluhkan jalanan menanjak menuju rumahku, ternyata jalanan ke rumahnya jauh lebih menantang.
“Jurnalis itu keren, tahu. Mereka berpergian ke banyak tempat baru, pengalaman baru, wawasan baru. Jadi jurnalis itu pengetahuannya selalu diasah,” katanya penuh antusias. “Hey! Kamu belum jawab pertanyaanku.”
Aku mengangkat bahu. Kulihat rumah-rumah penduduk mulai terlihat dan kerlip lampu semakin rapat. “Aku nggak pernah memikirkan mau jadi apa nanti.”
Ayu meletakkan dagunya ke pundakku. Seketika, gelenyar aneh itu kembali menguasaiku. “Kita dikasih kebebasan buat bermimpi, Putra. Tuhan ngasih kita kesempatan untuk memiliki impian. Masalah nanti bisa kewujud atau nggak, yang penting udah berusaha.”