Temanggung, Maret 2003
Abimana Saputra
“Sepertinya, Abim sudah berhasil mendapatkan hati si gadis berambut ikal yang dicintainya secara diam-diam selama ini ya, Nin,” kata Bang Ricko setelah Ayu menyelesaikan kalimat pembukanya. Ada keheningan yang kaku sebelum pria itu melanjutkan kalimatnya. “Selamat, Abim. Malam ini, kami akan membacakan ceritamu secara eksklusif.”
“Dan terima kasih untuk hadiahnya. Semoga Carlo Ancelotti berhasil membawa AC Milan menjadi juara Liga Champions musim ini, ya. Malam ini, izinkan kami membagi kisah bahagianmu dengan Sahabat Motion, Abim.”
Itu adalah kalimat terakhir Ayu sebelum lagu berikutnya diputar. Dari pelataran rumah, aku bisa membayangkan sedang apa dan bagaimana raut wajahnya sekarang. Entah dengan sengaja atau nggak Ayu memutar lagu Bukan Pujangga yang selama ini menjadi salah satu favoritku. Dan dari sini, kemungkinan besar Ayu sudah tahu siapa di balik sosok Abim yang sebenarnya.
Biasanya, kalau Mas Dion sedang nggak butuh bantuan, aku akan mengantar Ayu siaran. Menunggunya di depan studio Motion nggak pernah membosankan. Sejak mengetahui identitas Nindi, ini menjadi hal yang selalu aku nantikan.
Sepulang dari Motion, kami akan makan di Warung Bu Carik. Sambil menikmati nasi oseng lauk empal goreng favorit, Ayu akan menceritakan tentang harinya dan bertanya banyak hal. Lalu, kami akan bergegas pulang saat perut mulai kenyang. Ritual ini, sudah menjadi rutinitas yang wajib kami lakukan–kecuali hari ini.
Pagi tadi, Aku sengaja mengirimkan sebuah cerita tentang kami kepada tim catatan hati. Lewat kertas khusus berlogo acara itu, suratku sampai di meja redaksi. Dalam surat itu kusertakan syal berlogo AC Milan kesayangan untuk Ayu–atau Nindi seperti yang semua orang tahu. Dan ini jugalah alasan kenapa aku nggak bisa mengantar Ayu siaran hari ini. Bayangin gimana rasanya ketemu Ayu setelah surat dibacakan saja aku nggak sanggup.
Sejak sekolah diliburkan, aku jarang bertemu Ayu. Aku menyibukkan diri dengan membantu Mas Dion merawat tanaman dan ikannya. Sesekali, aku akan menghubunginya. Kalau tagihan telepon mulai bengkak, aku akan berjalan ke wartel dan menghabiskan sisa koin uang jajan untuk berbincang dengannya.
Seiring berjalannya waktu, kekakuan sikap kami akhirnya mencair. Ayu mendengarkanku layaknya sahabat. Meskipun kadang harus mengomel karena sama sekali nggak ngerti tentang pertandingan bola yang berulang kali jadi topik pembicaraan. Kalau sudah begini, Ayu akan berpura-pura mengantuk dan memintaku menutup telepon. Kadang, hal sesederhana ini bisa memicu pertengkaran.
Tentu saja, kami adalah pasangan yang normal. Nggak jarang kami meributkan hal-hal sepele. Selain yang tadi sudah kusebutkan, banyak hal yang memicu kami untuk menampilkan ego. Bayangkan saja, Ayu yang humble dan mudah akrab dengan siapa pun, harus menghadapi orang posesif sepertiku. Sudah kebayang berapa kali kami ribut dalam seminggu?
Aku tersenyum mengingat bagaimana dua hari lalu, kami bahkan meributkan tentang mengapa rautan pensil nggak boleh ditiup.