Jakarta, Juli 2004
Agak aneh mendapati harum petrikor di pertengahan Juli. Namun, kata orang perubahan iklim telah terjadi beberapa tahun belakangan dan menyebabkan pergeseran musim.
Ada satu hal yang selalu kusyukuri tentang hidup.
Bahwa ada seorang lelaki persisten yang selau bisa menjagaku. Meskipun, aku tahu bahwa hatinya tidak pernah sedikit pun memihak kepada asa ini sejak pertama kali.
Hari pertama masuk sekolah, kata orang ini adalah masa orientasi sekolah. Kami diminta datang lebih pagi dari biasanya, yaitu pukul 05.30. Seluruh siswa baru tahun ajaran 2004 – 2005 harus berbaris di lapangan luar sekolah ini.
Aku mendapati Reza di sana.
Lagi-lagi aku bersyukur masih dapat melihatnya lagi. Setelah ia sempat ingin pergi ke luar negeri untuk melanjutkan sekolahnya. Katanya ia ingin menghilang dariku, dari Tita, bahkan dari Alexandra.
Akan tetapi, ia tetap di sana, bersama Tita yang masih saja bersikap manja seperti biasanya. Andai aku memiliki keberanian lebih untuk mengungkapkan ini, mungkin segalanya akan mudah. Sekali lagi, Reza tidak pernah sedikit pun menaruh hati atas apa yang ia lakukan.
“Bengong aja,” sapa Renata sambil menepuk pelan pundakku sambil menatap Reza dari tempat yang sama.
Aku menghela napas. “Banyak hal yang gak bisa gue ungkap tentang ini semua, Ren.”
“Udahlah, kita kan sama-sama tahu gimana Eza.”
Napasku langsung terburu saat Renata memanggil Reza dengan sebutan itu. Darahku langsung mendidih saat ada gadis lain yang memanggilnya dengan sebutan itu. Aku tidak tahu, mengapa lidah ini selalu saja kelu saat berada di sebelahnya.
Aku tidak bisa seluwes Tita.
Aku juga tidak mampu setulus Alexandra.
Lebih-lebih melampaui kehebatan Alila.
Besar harapan tahun ini, bahkan hingga lulus nanti, aku akan bersama Reza. Namun, aku tidak bisa mengharapkan apa pun. Karena sekolah menetapkan kelas berdasarkan nilai ujian akhir.
Seperti biasa, Reza hanya berada di posisi secukupnya.
Desas-desus yang beredar saat aku melakukan pendaftaran bahwa sekolah akan melakukan klasifikasi berdasarkan nilai ujian akhir. Itu berarti Reza tidak akan menempati kelas yang sama denganku.
Aku bersama Renata dan Valia justru ada di posisi itu.
Sementara Reza berada satu golongan dengan Tita.
Apakah ia sengaja melakukan ini?
Atau mereka berdua yang bersekongkol untuk bisa berada di satu kelas?
“Ren, kita udah dapet kelas belom sih?” tanyaku, mencoba melarikan diri dari pertanyaan di kepala barusan.
“Katanya sih kelar hari ini ada pengumuman,” sahut Renata sambil mengangkat kedua bahunya. “Tapi, kali ini gue sekelas sama Eza.”
“Serius?” tanyaku tidak percaya dengan degup jantung yang begitu kencang.
Ia mengangguk pelan. “Lo kan tahu, posisi kita di kelas MOS itu sesuai waktu kita daftar. Palingan sih kita satu kelas lagi, soalnya kan nilai UN kita mirip-mirip.”
Sungguh, aku menjalani hari ini dengan kecemasan yang tidak masuk akal. Apalagi pihak sekolah seolah memisahkan kelas kami bukan berdasarkan nilai, tetapi menurut waktu melakukan daftar ulang.
Aku tahu, Tita dan Reza mendaftar pada saat bersamaan.