Jakarta, Juli 2004
Aku menangis sejadi-jadinya saat tiba di rumah.
Mama pun mengiyakan bahwa memang Reza dan keluarganya akan pindah rumah. Katanya pada rapat terbatas bersama dewan direksi dan manajer di perusahaan Ayah Reza, ia akan meninggalkan Jakarta untuk lima-sepuluh-tahun ke depan.
Ayahnya Reza bahkan sudah mengangkat direktur operasional baru yang akan bertanggung jawab atas seluruh kegiatan di kantor Jakarta. Itu berarti benar kata Tita, bahwa Reza sudah tidak akan lagi kutemukan.
Akhir pekan yang seharusnya menjadi masa yang menyenangkan, kini semuanya sirna. Hujan yang turun membasahi tanah Jakarta seolah-olah menitipkan segenap elegi; sama seperti hati ini yang begitu nestapa.
Ada hal yang menjadi permasalahan besar bagiku.
Alexandra tidak membalas satu pun pesan singkatku.
Mama juga tidak mengetahui perihal apa pun tentang keluarga Alexandra. Katanya sudah sejak awal libur kemarin mereka tidak bertegur sapa.
Dadaku terasa begitu sesak bersama dengan angan yang berhamburan tentang deretan skenario sendu tentang Reza dan Alexandra. Mereka bisa saja bertemu di belakang dan mengait janji untuk meneruskan studi di tempat lain.
Jauh dari hatiku; jauh dari ini semua.
Lagi-lagi aku harus menyerah dengan ini semua.
Segalanya terasa tidak mungkin lagi kupertahankan.
Ingin rasanya aku mengakhiri ini semua. Meninggalkan dunia yang fana bersama dengan rasa hampa yang terus saja menggerogoti kepercayaan diri. Tidak kuat lagi rasanya masih menghela napas tanpa ada kepastian hati.
Aku ingin pergi dari kehampaan ini.
Akan tetapi, setiap kali aku ingin memulai, bayangan Mama selalu saja menggagalkan ini semua. Aku tidak ingin menambah kesedihan Mama atas ini semua. Aku harus bisa menjadi anak yang membanggakan.
Ahad sore, Tita tiba-tiba datang ke rumah. Ia tampak gusar tentang hilangnya Reza. Mama tampak mengetahui itu, mungkin air wajah kami tidak bisa membohongi bahwa hilangnya Reza sudah banyak mengubah hidup ini.
“Gue boleh gak nginep di sini?” tanya Tita saat kami sudah di kamar.
“Terus besok gimana?”
Ia menunjukkan tas di punggung dengan memutar sedikit tubuhnya. “Gue udah bawa baju buat besok. Soalnya Mama gak ada di rumah, Papa juga pasti cuma marah-marah mulu.”
Aku menghela napas. “Biasanya kalo gini lo ke Reza?”
Ia mengangguk. “Alila biasanya nemenin gue. Karena gak setiap gue ke sana Eza juga ada di rumah.”
Aku sedikit terkejut mendengar kenyataan itu.
“Berarti, biarpun lo ke sana, lo gak selalu ketemu Reza?”
Ia menggeleng. “Kadang dia cuek di kamarnya, gue cuma ketemu sama Alila. Gue tahu, dia emang sengaja lakuin itu biar gue bisa lebih kuat. Tapi, gue gak boong kalo sekarang gue butuh dia.”
“Gue juga sama, Ta.”
Ia tersenyum, tampak tidak terkejut dengan pengakuanku barusan. Ia bahkan mendekapku, menimbulkan perasaan yang sedikit menenangkan akan ini semua.
“Jujur, gue juga ngerasa hampa,” kataku saat Tita melepas dekapan ini. “Tapi, gue gak berani melangkah.”