Reza

Sweet Life
Chapter #4

Kenyataan Pahit

Jakarta, Agustus 2004

 

Sudah dua pekan berlalu, Reza benar-benar menyisakan ruang hampa yang menganga di hati. Aku sudah menerima ini semua dan menempatkan Tita sebagai aliansi terbaik.

Hidup harus tetap melaju, setidaknya itu yang kami percaya.

Memang benar hilangnya Reza telah membawa sebuah kisah elegi baru di hati. Namun, dengan hilangnya ia pula aku mengerti bahwa setiap hidup harus dihargai bagaimanapun bentuknya.

Ini adalah pekan pertama di bulan Agustus, aku sudah terbiasa dengan kegiatan baru selama SMA. Beberapa kali aku bertemu Tita di gerbang sekolah. Ia berada di kelas X.2 yang bersebelahan dengan kelasku.

Setelah upacara pagi di Senin ini, kami mulai masuk ke dalam kelas. Aku yang biasanya duduk di barisan paling depan, kini berada pada bagian belakang; menyisakan satu kursi kosong di sebelah.

“Selamat pagi, anak-anak,” sapa Pak Ridwan, wali kelas kami.

“Selamat pagi, Pak,” jawab kami semua.

“Mulai hari ini, kita kedatangan teman baru yang akan menggenapkan kelas kita jadi 40 orang.”

Sungguh aku ikut senang mendengarnya, setidaknya akan ada seseorang yang mengisi kursi kosong ini nantinya. Tak lama, seorang lelaki yang tidak asing masuk dari pintu kelas.

Waktu yang biasanya berlari sombong kini seolah-olah terhenti. Sosoknya benar-benar membius seluruh sadarku saat ia tersenyum di depan dan melambaikan tangan dengan santai.

“Selamat pagi, tim,” kata dia santai. “Sebagian dari temen-temen di sini udah pasti kenal sama gue. Jadi, gue gak perlu kenalin diri lagi.”

Lelaki itu tersenyum dan menatap ke arah Pak Ridwan dan berjalan begitu santai menuju ke kursi kosong di sebelahku. Sang wali kelas hanya bisa menggeleng dan tertawa kecil lalu membiarkan Reza duduk di sebelahku.

Semesta seolah-olah merestui lagi pertemuan ini.

Saat aku sudah memasrahkan segalanya, Reza kembali datang dengan ajaibnya. Ia bahkan menatapku dengan senyum yang tidak pernah terlihat sebelumnya.

Jujur, wajahku begitu panas.

Tanganku gemetar bersama dengan degup jantung yang begitu kencang mendapati ini semua. Ini adalah kali pertamaku benar-benar berada dekat dengan Reza.

“Yo, Nabila,” sapanya santai. “Ternyata kita sekelas, ya.”

“I … i … iya, Za.” Aku tergagap sendiri saat lelaki itu menyapa.

Sungguh aku tidak berkutik lagi kini. Reza, lelaki yang selama ini kupuja ternyata duduk di sebelah raga. Harum tubuhnya masih sama, memberikan ketenangan yang begitu paripurna bersama dengan imaji tak terelakkan.

Ingin rasanya kudekap lelaki ini, tetapi tidak mungkin.

Sungguh, seharian ini rasanya aku begitu bahagia. Aku sudah berjanji kepada Tita, andai Reza kembali, kita tidak akan lagi bermusuhan. Saat ini kubuktikan janji itu dengan berkumpul di kantin untuk makan siang.

Tita terlihat begitu bahagia, ia bahkan sampai menitikkan air mata mendapati sahabatnya, setidaknya itu yang dikatakan Reza, sudah kembali. Bahkan Reza sendiri yang memasak makan siang untuk kami.

“Omelet?” tanyaku saat sebuah telur dadar tanpa nasi disuguhkan oleh Reza di hadapan.

“Yes, spesial buat lo, Nab.”

Aku memejamkan mata, mencoba menyadari bahwa saat ini Reza kembali mengujiku. Aku masih ingat bahwa terakhir saat ke rumahnya, ia juga menyuguhkan telur dadar yang tidak disantap. Aku mengerti bahwa ia ingin mengetahui seberapa besar diri ini telah berdamai dengan semuanya.

Reza duduk di hadapan kami. Tita bahkan tampak agak canggung mendapatiku disuguhkan makanan ini. Tita tahu benar tentang diriku yang tidak pernah suka dengan telur dadar.

Lihat selengkapnya