Jakarta, Agustus 2004
Hari-hariku benar-benar berubah setelah datangnya Reza kembali dalam perimeter. Mama bahkan menyadari, semangatku dalam menjalani hari makin terlihat.
Kata Mama, aku harus tetap semangat agar bisa diterima di fakultas kedokteran di perguruan tinggi negeri. Aku harus bisa menilai diri ini lebih tinggi lagi agar tidak berakhir seperti Mama. Sungguh, kenyataan hidup yang dijalani seolah-olah mengajarkanku tentang bagaimana seharusnya diri ini diposisikan.
Aku memang bukan pilihan yang selalu diinginkan Reza.
Namun, berada di dekatnya saja sudah cukup untuk saat ini.
Terlebih ia lebih sering menghabiskan waktu denganku. Aku memang sengaja membuatnya sibuk hanya dengan diri ini sejak mengetahui bahwa ia sekarang bisa dikendalikan. Setidaknya itu yang saat ini selalu terlintas di kepala.
“Za, nanti lo mau pulang bareng lagi, kan?”
Ia sejenak memejamkan mata. “Kayaknya gue ada janji sama Tita deh.”
“Tita?” tanyaku tidak percaya. “Kapan lo janjian sama dia?”
“Emangnya gue harus ngomong sama lo?” tanyanya sambil tertawa kecil.
“Oh,” jawabku sekenanya.
Jujur saja, hampir dua pekan aku selalu bersamanya, baru kali ini ia lepas dari pantauanku. Terlebih, seseorang tampak menjemputnya dengan sedan Bavaria itu. Wanita bernama Alila itu bahkan melambaikan tangan begitu ringan ke arahku.
Tentu saja aku membalasnya, walaupun setengah hati.
“Nab, gue duluan, ya.” Tita lalu menepuk pundakku ringan sambil berjalan mendahuluiku.
“Lo gak mau ikut?” tanya Reza lalu berhenti di sebelahku.
“Eng … enggak, Za,” kataku agak malas sambil membuang wajah.
“Gue serius, Nab. Lo mau ikut gak?” tanyanya sambil mengumbar senyum yang seharusnya tidak perlu.
“Gak.”
“Okay.” Reza juga berjalan mendahuluiku.
Aku tahu, ia sengaja melakukan ini. Ia bahkan dengan sengaja membuka pintu belakang kanan untuk Tita, sementara raganya duduk di kursi penumpang depan. Alila mengutaskan senyum yang cukup aneh sebelum ia memutar haluan kendaraan ini. Sejatinya, ada ragu yang terlintas saat mendengar deru mesin kendaraan ini. Sekali lagi, aku harus bisa memosisikan diri sebagai perempuan.
Tak lama jendela belakang kiri terbuka tepat di sebelahku. “Dadah, Kak Nabila.”
Seketika tubuhku terhentak mendengar suara gadis berseragam SMP itu; dia adalah Alexandra. Sekali lagi aku merasa Reza tampak mempermainkanku dengan lihainya. Menempatkan diri ini ke dalam pilihan sulit yang agaknya sukar dilaksanakan.
Bukan kesedihan yang saat ini merundung, tetapi rasa amarah.
Aku tidak bisa menerima apa yang Reza lakukan.
Seenaknya saja ia bisa lepas dari pengawasanku dan berhubungan dengan Alexandra. Dengan beberapa kali menghela napas, aku beranjak dari tempat ini. Konstelasi perasaan ini benar-benar bisa membuatku lebih kuat untuk melawan Reza.
Esok hari yang kutunggu tiba, sesampainya di sekolah aku bisa melihat Reza sedang duduk di depan kelas seraya memasang headset. Ia sempat menatapku singkat, tetapi tidak menampakkan ekspresi apa pun. Sungguh aku tidak ingin menghancurkan mood ini lagi.
Sepanjang hari kami saling tidak bertegur sapa.
Ia bahkan terlihat lebih cuek ketimbang biasanya. Sesekali aku mencuri pandang hanya untuk mendapati dirinya baku pesan dengan dua nomor yang berbeda. Aku mengenal keduanya; Anna dan Tita. Lagi-lagi amarah terus menguasai hati hingga jadwal hari ini selesai.
Tita sudah menunggu di pintu kelas, mengumbar senyum yang dibalas hangat oleh Reza. Ia langsung pergi begitu saja, tidak menatapku, melaju seolah-olah tidak ada seorang pun di sebelahnya. Namun, kali ini aku tidak peduli.