Jakarta, September 2004
Satu pekan lebih aku dan Reza terbungkam dalam hening.
Ada satu peristiwa yang membuat seluruh sekolah gempar, yaitu saat Nico melakukan pernyataan cintanya saat upacara. Nico dihukum karena melakukan itu, beruntung Tita menerimanya.
Reza juga tampak tersenyum lega saat mengetahui itu. Tidak tampak ada raut jelus terukir di sana. Apakah memang ia hanya menganggap kedekatan mereka sekadar sabahat? Aku pun tidak tahu, karena setelah segalanya selesai, Reza mulai merespons Trisna.
Aku masih belum saja percaya diri dengan ini semua. Setelah mendapatkan kabar tentang Tita, ditambah pernyataan Alexandra tentang hubungannya dengan Reza, harusnya aku bisa lebih mudah berkomunikasi dengan Reza.
Namun, ia tetap lebih banyak diam dan merespons segala tentang Trisna. Gadis itu bahkan sering membawakan makan siang untuk Reza. Hal yang masih belum bisa kulakukan hingga saat ini. Sungguh, ia masih saja melakukan hal kecil yang membuat perasaan ini tetap ada dan bertahan kepadanya.
Beberapa kali aku mencoba untuk mengalihkan asa, tetapi semuanya tidak pernah berhasil. Aku malu mengakuinya bahwa hati ini sudah terlalu dalam mencintai sosok itu.
Hingga suatu hari di pertengahan September, hujan turun begitu derasnya. Sudah lebih dari tiga pekan aku dan Reza tidak bertegur sapa. Namun, lelaki itu benar-benar tidak pernah memulai pembicaraan apa pun.
Kami sama-sama terjebak di situasi yang sama, hujan yang memaksa untuk tetap berada di sekolah saat kondisi kelas mulai sepi. Satu per satu siswa di kelas ini pulang, menyisakan hanya kami berdua saat mentari mulai tidak terlihat lagi.
Ia beranjak dari kursinya sambil memperhatikan ponsel. Tampaknya Alila menjemputnya sore ini. Sayangnya, Pak Samin sedang tidak berada di rumah, sehingga aku harus menurunkan gengsi untuk menyapa lelaki yang saat ini hampir tiba di penghujung ruangan.
“Za,” panggilku agak canggung setelah sekian lama.
“Yo,” jawabnya dari bibir pintu.
“Gu … gue boleh bareng sama lo, gak?”
“Beneran lo mau bareng?”
Aku mengangguk pelan tanpa mengatakan apa pun.
“Okay, gue anterin lo sampe ke rumah.”
Ia melepas sweter warna merah besutan A Bathing Ape yang bergambar Baby Milo, karakter dari Sanrio dan memberikannya kepadaku. “Lo pake ini sampe ke mobil.”
Aku tidak tahu, mengapa getaran itu masih saja tersimpan untuk Reza. Padahal, aku sudah susah payah menyingkirkan perasaan yang mengganggu itu. Sentuhannya begitu hangat walau hanya terasa beberapa detik. Ia bahkan begitu menawan saat menyerahkan sweter ini.
Ia tampak menungguku untuk mengenakan sweter ini, setelah mempersilakan raga ini melintas, Reza baru mengikuti. Hujan yang turun cukup deras memaksaku agar cepat tiba di mobil hitam yang berada di dekat gerbang sekolah.
Lagi-lagi, Reza menunjukkan kualitasnya dengan membukakan pintu kiri belakang. Sementara ia duduk di kursi penumpang depan segera setelah pintunya ditutup.
Mengapa ia selalu bisa menjatuhkanku lagi? Sudah dua kali ia melakukan ini, tepat ketika aku hendak berpaling. Tiba-tiba ia menawarkan lagi keindahan yang sejatinya tidak kuinginkan.
Apa yang lelaki itu pikirkan?
“Za,” panggilku saat mobil ini membelah derasnya hujan Ibukota. “Gu … gue boleh mampir di kafe biasanya gak?”
Ia menoleh ke belakang melalui celah di antara jok depan. “Okay, kebetulan juga udah lama gak ngopi di sana.”
Aku tidak memahami hati ini sekarang. Mengapa aku bisa luluh atas apa yang Reza lakukan tadi? Segala amarah yang telah terkumpul di hati seolah-olah sirna bersama kehangatannya. Aku bahkan begitu bahagia mendengar lagi suaranya menyapa.
“Lia mau ikut?” tanya Reza ketika kendaraan ini berhenti di depan kafe langganan kami.