Reza

Sweet Life
Chapter #7

Resolusi Hati

Jakarta, Oktober 2004

 

Berpacarannya Tita dengan Nico membuat sebuah tajuk baru seantero sekolah. Terlebih, keduanya sering terlihat bersama saat pergi dan pulang. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda perbaikan hubunganku dengan Reza.

Lelaki itu masih saja memilih untuk sibuk sendiri dengan dunianya. Sesekali kami hanya berbincang ringan, itu pun hanya sekitar pelajaran.

Bahkan Reza terlihat dekat dengan Trisna akhir-akhir ini.

Entahlah, tetapi aku hanya melihat apa yang saat ini lelaki itu lakukan adalah manifestasi kekecewaannya kepada Tita atau mungkin kepada Anna. Aku tidak pernah tahu apa yang ada di kepalanya, lebih-lebih di dalam hatinya.

Beberapa kali ia mengajak pulang bersama, karena kebetulan rumahku searah dengan lajunya pulang. Namun, selama sepekan belakangan, ia tidak pernah menemaniku hingga pemberhentian akhir.

Aku tidak pernah memintanya, karena kata-kata Mama selalu ada di kepala, bahwa sebagai perempuan tidak perlu merendahkan harga diri hanya untuk hal ini.

Meskipun aku sadar, Reza bukanlah orang yang akan berinisiatif untuk memulai sesuatu apabila tidak diminta. Akhirnya aku hanya dapat memberikan semboyan yang juga tidak diindahkan olehnya.

“Nab, weekend ini lo mau ke mana?”

Aku menggeleng. “Gak ada sih, kenapa?”

“Kalo lo ada waktu, bisa gak temenin gue,” ajak Reza sembari merapikan buku ke dalam tas selempang berwarna cokelat miliknya.

“Mau ke mana emangnya?”

“Palingan ke Plaza Senayan, mau beli sesuatu,” katanya lalu menatapku.

“Buat siapa? Tita? Trisna? Alila? Apa, Anna?” tanyaku ketus.

Ia tertawa. “Gak buat siapa-siapa, gue mau beliin sesuatu buat seseorang selain mereka.”

“Siapa ih?”

“Rahasia lah, lagian lo gak perlu tahu juga buat siapa.”

Ia beranjak dari kursinya, lalu menatapku. “Lo mau ikut pulang bareng gak?”

Aku mengangguk. “Anterin sampe rumah, mau?”

“Okay,” jawabnya singkat sambil melaju meninggalkanku.

Entahlah, tetapi ternyata apa yang kupikirkan selama ini memang benar. Reza tidak akan berinisiatif melakukan apa pun kecuali diminta. Ia benar-benar tipe lelaki yang straightforward seperti apa kata mereka.

Kuakui, beberapa kali ada kecewa saat mengharapkan sesuatu dari dirinya. Akan tetapi, aku tidak pernah belajar dan terus saja berharap. Sampai ketika rindu ini begitu pekat, akhirnya frasa itu keluar begitu saja.

Reza tidak hanya mengantarkanku pulang, ia juga mengajak untuk singgah sejenak di kafe dekat rumah seperti biasa. Kehangatannya masih terasa begitu nyata saat ia memesankan minuman dan beberapa penganan seperti kebiasaannya.

Waktu berjalan begitu lambat, penantian dari Rabu ke Sabtu terasa amat menyiksa. Sedari pagi aku menunggu kabar darinya melalui ponsel yang belum genap setahun dimiliki. Tepat ketika jam menunjukkan pukul sepuluh, sebuah pesan singkat dari pujaan hati akhirnya tiba.

Ia memintaku menunggu beberapa saat.

Aku cukup terkejut melihatnya menggunakan sepeda motor yang bahkan aku tidak tahu mereknya apa. Ia membawakan helm untukku, memasangkannya, dan mulai melaju membelah jalan Ibukota yang tidak seberapa ramai ini.

Setibanya di tempat yang dituju, Reza berhenti di sebuah tempat perhiasan yang tidak pernah kusinggahi. Aku tidak tahu, apa yang ia inginkan, tetapi ia menggunakan ragaku sebagai contoh.

“Cocok gak?” tanyanya kepadaku.

“Ini simple sih,” jawabku agak malas. “Buat siapa sih?”

Ia mengangkat kedua bahunya. “Rahasia, nanti juga lo tahu.”

“Ya elah, tinggal ngomong aja sih,” sahutku agak ketus.

“Ya udah, tapi ini okay gak?” tanyaku balik. “Menurut lo bagus gak?”

Aku menghela napas, berusaha untuk mengerti apa yang ada di dalam pikiran Reza. Setelah menghela napas panjang, aku mengangguk, mengakui bahwa kalung berwarna putih kekuningan ini memang terlihat indah, tetapi cukup sederhana.

Ia lalu menarik tanganku, begitu ringan rasanya, seolah-olah hal ini biasa ia lakukan. Setibanya di depan kasir, ia langsung mengeluarkan sebuah kartu yang identik dengan milik Alexandra, lalu melakukan pembayaran.

Lihat selengkapnya