Jakarta, November 2004
Hari-hariku terasa makin menyenangkan setelah apa yang dilakukan Reza saat itu. Namun, aku tetaplah Nabila seperti biasa; yang hanya bisa diam saat Reza juga diam.
Akhir-akhir ini Trisna terlihat cukup intensif menjalin komunikasi dengan Reza. Awalnya, lelaki itu tampak tidak mengacuhkan kehadiran Trisna. Akan tetapi, sebuah peristiwa di pertengahan November seolah-olah mengubah bagaimana aku memandang kedekatan Trisna dan Reza.
Memang benar, Reza tidak mengindahkan Trisna pada awalnya.
Akan tetapi, saat Trisna terlihat kurang sehat ketika pelajaran olah raga, Reza adalah orang pertama yang berinisiatif mengantarkan gadis itu ke UKS. Sejak saat itu, sorot mata Reza kepada Trisna tampak berubah.
Tidak ada lagi raut dingin dan ucapan sekenanya.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka saat itu, tetapi perbedaan cara Reza memperlakukan Trisna seolah mengatakan sesuatu tentang itu semua.
Lagi-lagi aku harus menahan diri.
Trisna tampak begitu supel dan atraktif, ia langsung bisa menjerat Reza dengan segala yang dimiliki. Sebenarnya itu menyurutkan seluruh semangatku saat mendekati Reza. Namun, lagi-lagi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menatap Reza dari kejauhan.
“Nab, pulang nanti mampir kafe, yuk,” ajak Reza saat kami baru selesai istirahat.
“Sore ini?”
Ia mengangguk. “Iya, kebetulan gue lagi bosen di rumah.”
“Tumben,” sahutku sekenanya.
“Iya, lagi boring aja, belom punya game baru. Ayah gue masih di Kalimantan soalnya, jadi belom sempet beli game.”
Aku mengangguk pelan, padahal hati ini terasa begitu gembira. Entah bagaimana wajahku saat ini, tetapi rasanya begitu panas saat Reza mengajak singgah di kafe barusan.
“Eh, gue boleh ikutan gak?” sela Trisna tiba-tiba muncul di belakangku.
“Nab, terserah sama lo,” jawab Reza sekenanya.
Saat ini hatiku berada di sebuah persimpangan yang nyata.
Reza jelas-jelas mengajakku secara pribadi saat tiba-tiba Trisna datang dan berniat untuk ikut serta dalam kencan ini. Reza bahkan tidak mengindahkan jawaban apa yang hendak kukeluarkan untuk Trisna.
Ia hanya menghela napas sambil mengalihkan pandangannya.
Haduh, bagaimana ini?
Kalau aku menolaknya, jelas namaku akan buruk di mata Trisna.
Namun, kalau aku menerimanya, keindahan yang sejak tadi dibayangkan hanya menjadi angan semu. Padahal, sudah lama sejak ia membelikan kalung ini, Reza tidak mengajakku untuk sekadar singgah di kafe tersebut.
“Bo-boleh, Tris. Tapi, bukannya rumah lo beda arah ya?”
“Ya gak masalah sih, Nab. Lagian gue sama kayak Reza, bosen di rumah gak ada apa-apa juga.”
Entahlah, aku merasa tidak leluasa bergerak saat ini.
Akhirnya aku mengiyakan saja keinginan Trisna untuk bergabung bersama kami pada sore ini. Padahal, aku sudah berharap sesuatu yang menyenangkan akhir hari ini. Namun, datangnya Trisna secara tiba-tiba membuatku sungguh tidak keruan.
Lebih-lebih Trisna terlihat begitu nyaman di sebelah Reza.
Setibanya di kafe, Reza langsung meninggalkan kami berdua dalam sebuah suasana canggung. Aku tidak mengerti apa yang saat ini dirasakan, tetapi Trisna tampak tersenyum sendiri ke arah hilangnya tubuh Reza.
“Lo gak ada hubungan apa-apa kan sama Reza?”
Aku menatapnya agak heran. “Ya gue sama dia temenan, gimana emangnya?”
Ia tersenyum sinis. “Kalo gitu, Reza buat gue aja ya.”
Aku terhentak begitu hebat mendengar ucapan Trisna. Sungguh seumur hidup aku mengenal perempuan, baru gadis ini yang terang-terangan mengatakan itu di hadapan.
Aku tidak mengerti motivasinya, tetapi ia tampak serius setelah mengucapkan kalimat barusan. Gadis ini seolah-olah mengetahui tentang isi hatiku yang berharap kepada lelaki bernama Reza itu.
“Ya, lo ambil aja, gak masalah.”