Jakarta, November 2004
Akhir pekan ini dilalui dengan elegi yang luar biasa.
Papa pulang tak lama setelah aku bertengkar dengan Reza. Ia terus saja marah-marah dengan alasan yang tidak jelas. Beberapa kali aku bahkan mendengar suara tamparan yang terdengar jelas.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain meringkuk di kamar dan menangis. Aku terus saja menyalahi semua ini; hidup di keluarga yang tidak harmonis; memiliki pujaan hati yang tidak peka; mencintai dalam satu arah yang salah.
Segalanya terasa begitu menyita hati.
Terkadang aku ingin saja menyayat lenganku untuk mengakhiri ini semua. Namun, aku tidak punya nyali sebesar itu bahkan untuk mengakhiri napas sendiri.
Aku terlalu naif dan paranoia atas ini semua.
Segalanya terus berlangsung hingga hari Senin. Hujan yang turun sejak semalam membuat sekolah tidak mengadakan upacara. Namun, saat itu pula aku tidak melihat Reza.
Ia benar-benar lelaki yang menyebalkan. Selalu menghilang sesaat setelah melakukan kesalahan. Aku juga tidak mau memulai komunikasi dengan mengirimnya SMS terlebih dahulu.
Aku selalu ingat apa kata Mama, bahwa perempuan tidak boleh lemah di depan laki-laki. Meskipun aku tahu, kualitas Reza berbeda dengan Papa. Akan tetapi, kedekatan Reza dengan Alexandra seolah-olah menjadi momok tersendiri yang menciutkan hati. Aku tidak ingin segalanya berakhir begitu saja, melepaskan lelaki yang sudah mengunci hati tanpa ia sadari.
“Nab,” panggil Trisna, lalu duduk di atas kursinya Reza.
“Hm,” ucapku menggumam; malas untuk sekadar menjawab sapaannya.
“Gue mau tanya sama lo, emang bener kalo selama ini sebenernya Reza suka sama lo?”
Aku terhentak begitu hebat dengan wajah begitu pans. “Ka-kata siapa?”
“Reza yang cerita sama gue, sebelum kita ketemu di kafe deket rumah lo. Gue kan tanya sama Reza, ada gak cewek yang dia taksir, dia bilang katanya ada, jawabannya Nabila.
“Tapi, gue heran, kenapa tiba-tiba ada anak SMP yang ngaku-ngaku pacarnya Reza. Kalo ngaku-ngaku kan gak mungkin, soalnya dia cakep.”
Sejenak aku terdiam setelah mendengar perkataan Trisna.
“Jujur, gue gak tahu kalo Reza suka sama gue. Tapi, gue sama Reza udah kenal dari SMP.”
Ia menghela napas. “Ia cerita, ketemu di bawah ujan, terus nganterin lo pulang naek taksi. Katanya sebenernya dari awal dia udah naksir sama lo, tapi lo yang gak mau sama dia.”
Permainan apa yang sebenarnya Reza jalani dengan Trisna?
“Ka-kapan Reza ngomong gitu?”
“Ya elah, Nab. Kan gue udah tanya pas di kafe, tapi kata lo, Reza sama lo cuma temenan. Gue pikir dia gak punya pacar.”
“Emang gak punya,” kataku singkat dan tajam. “Dia itu cuma pura-pura sama Reza.”
“Ma-maksud lo?” tanya Trisna setelah wajahnya memandangku pucat.
“Iya, dia sama Anna gak ada apa-apa. Gue satu SMP sama dia, dia emang ganjen sama Reza. Dia sering boong tentang kotak makan yang sebenernya dari gue, tapi diaku-aku kalo itu Anna yang masak.
“Lagian, mana mungkin Reza mau sama dia, orang dia itu gak akan bisa hamil.”
Tubuhku mendadak dingin bersama dengan bibir yang terasa kelu setelah mengatakan hal itu kepada Trisna. Aku tidak tahu, tetapi ini adalah cara yang akhirnya dipilih untuk menumpahkan segala kekesalan kepada Reza. Lelaki itu tidak sepenuhnya salah sampai ketika Alexandra datang.
“Lo tahu dari mana, Nab?” tanya Trisna dengan wajah tidak percaya.
“Mama gue sahabatan sama Mamanya Anna.”
Ia tersenyum. “Berarti kesempatan gue buat deketin Reza masih aman ya. Secara lo kan udah gak mungkin tuh buat nerima Reza lagi.”
Ia menepuk pundakku ringan bersamaan dengan hadirnya sosok Reza. Ia tampak menyapa semua temannya sebelum meletakkan tas dan duduk. Ia menatapku sambil tersenyum; terlihat mengambang tanpa tahu apa artinya.
Tidak lama, wali kelas kami hadir untuk mengajarkan mata pelajaran pertama. Lagi-lagi Reza bungkam, ia yang biasanya menyapa walaupun lewat secarik kertas, kini hanya terlihat fokus dengan mata pelajaran.
Apa yang sebenarnya kurasakan kini?