Jakarta, Desember 2004
Aku sudah bisa menduga semuanya sejak senja itu.
Reza lagi-lagi menunjukkan sisi cueknya kepadaku seperti yang sudah-sudah. Aku terkadang bertanya sendiri, apakah ia memiliki kepribadian ganda? Ataukah memang ini adalah sifat asli Reza yang tidak acuh dengan apa pun?
Entahlah, tetapi akhir-akhir ini aku lihat Reza berusaha menjadi seseorang yang berbeda. Ia menduduki puncak klasemen ulangan harian pada pekan kedua Desember sebelum kami memasuki ujian akhir semester pertama empat pekan lagi.
Semua siswa di kelas, tentunya belum pernah satu kelas dengan Reza, tampak terheran. Bahkan guru matematika kami mempertanyakan dari mana intelijensi seorang Reza berasal.
Sang guru bahkan membuat soal lain dan meminta Reza mengerjakan di papan tulis untuk memvalidasi kecerdasan lelaki itu. Ia begitu tenang, tampak tidak sedikit pun ada beban melakukan ini semua.
Sungguh, aku benar-benar sudah tidak ingin lagi menghiba kepada lelaki itu. Meskipun hati ini sebenarnya begitu rindu dengan hangat sapa lelaki itu. Namun, aku harus tetap bertahan untuk tidak memulai ini terlebih dahulu.
Hati ini makin kacau ketika mendapati Papa lagi-lagi melakukan kekerasan kepada Mama. Dampaknya begitu signifikan kepada Mama, ia menjadi tempramental hingga melarangku mendekati Reza lagi. Padahal, seluruh kejadian ini bukan salah Reza. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa diri ini tidak semudah itu.
Hingga satu peristiwa membuat Mama gelap mata. Ia marah kepadaku hingga menampar pipi kiri ini tanpa sebab. Padahal aku tidak pernah sama sekali merepotkan Mama setelah rangkaian kekerasan yang diterimanya.
Aku menangis sejadi-jadinya semalaman hingga membuat mata ini bengkak. Sungguh, aku tidak ingin pergi ke sekolah, tetapi seluruh pelajaran di akhir tahun ini akan menjadi kisi-kisi yang berguna untuk ujian akhir semester nanti.
“Lo kenapa?” tanya Reza saat ia memperhatikan wajahku.
“Eng-enggak,” jawabku pelan, tetapi meninggikan hati.
“Bilang gak sama gue?” tanya Reza agak tinggi. “Siapa yang tega nyakitin lo?”
Sekujur tubuhku mendadak dingin mendengar nada setegas itu meluncur dari lisan Reza. Lelaki yang biasanya tenang, cenderung dingin, kini tampak begitu cemas. Ia tidak bisa menyembunyikan segenap ekspresi itu saat ini.
“Mama,” jawabku pelan.
“Hah?” tanyanya tidak percaya. “Mama lo?”
Aku mengangguk pelan. “Papa seminggu ini marah-marah terus sama Mama. Terus kemaren pas Nabila minta tolong ke Mama, tiba-tiba Nabila ditampar.
“Jangan bilang siapa-siapa, Za. Gue mohon sama lo.”
Ia tampak menghela napas panjang lalu menggeleng. “Lo sekarang tinggal di lingkungan yang gak sehat, Nab. Gini aja, gue akan temuin Mama lo. Gue gak bisa biarin lo kayak gini.”
“Ta-tapi, Za. Kenapa lo peduli sama gue? Bukannya selama ini lo cuek sama gue?”
Ia menggeleng. “Ini bukan saat yang tepat buat bahas, Nab.”
Aku tidak tahu apa yang Reza pikirkan, tetapi ia mengambil tasnya lagi dan berjalan keluar. “Gue izin gak masuk hari ini, semoga semuanya lancar buat lo, Nab.”
Apakah ia akan menemui Mama?
Apa mungkin Reza bisa menaklukan amarah Mama?
Satu hari terlewati tanpa hadirnya Reza di kursinya. Sungguh, tidak ada semangatku setelah absennya lelaki itu. Tidak mungkin rasanya Reza bisa menenangkan Mama. Namun, aku tampak bisa melihat bahwa Reza bisa mengandalikan ini semua.
Di bawah guyuran gerimis, aku berjalan sampai ke depan rumah. Saat itu, Mama langsung menyambutku, mendekap begitu erat seraya mengucapkan kata-kata maaf. Aku tidak tahu, sihir apa yang Reza miliki hingga Mama bisa luluh.
Sungguh, hal ini makin membuatku ingin memiliki Reza dengan cara apa pun. Aku ingin menyingkirkan nama-nama gadis lain yang saat ini berada di sekitarnya. Meskipun aku harus akhirnya menghadapi seluruh dinginnya sikap Reza.
“Ma, tadi Reza beneran ke sini?” tanyaku setelah Mama melepas dekapannya.
“Iya, sayang. Maafin Mama, ya. Mama juga kaget tadi Reza dateng terus ngomong semuanya tentang kamu. Mama sadar, apa yang terjadi kemaren-kemaren itu karena Mama iri sama kamu.”